Mohon tunggu...
Hanna Qothrun Nada
Hanna Qothrun Nada Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hak Kekayaan Intelektual AI : Kepemilikan, Penciptaan, dan Perlindungan Hak Cipta Oleh Sistem Kecerdasan Buatan

10 Desember 2024   00:05 Diperbarui: 10 Desember 2024   00:05 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penciptaan karya oleh AI menimbulkan permasalahan lain terkait dengan definisi pencipta dalam hukum hak cipta. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Hak Cipta, pencipta adalah individu yang dengan kemampuan intelektualnya menciptakan suatu karya. Hal ini mengarah pada perdebatan tentang apakah AI, yang merupakan entitas non-manusia, dapat dianggap sebagai pencipta sah.

AI, terutama yang menggunakan metode deep learning atau machine learning, dapat "belajar" dan menciptakan karya tanpa intervensi manusia yang signifikan. Sebagai contoh, AI dapat dilatih untuk menghasilkan musik atau seni visual dengan menggunakan dataset yang sangat besar tanpa memerlukan campur tangan manusia selain dalam tahap pelatihan. Hal ini menciptakan dilema dalam sistem hukum hak cipta yang selama ini hanya mengenal pencipta manusia.

Di Indonesia, pengaturan tentang penciptaan karya oleh AI masih sangat terbatas. Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia tidak secara eksplisit membahas penciptaan oleh AI. Oleh karena itu, sistem hukum Indonesia, yang berlandaskan pada sistem civil law, cenderung lebih konservatif dalam menanggapi masalah ini.

Teori

  • Teori Kepemilikan Intektual
  • Teori ini berfokus pada bagaimana kepemilikan atas hasil ciptaan atau karya intelektual diatur. Menurut teori ini, hak kekayaan intelektual diakui sebagai hak eksklusif yang diberikan kepada pencipta, yang memiliki kontrol penuh atas penggunaan karya yang diciptakan. Dalam konteks AI, pertanyaan utamanya adalah: apakah mesin (AI) dapat menjadi "pencipta" yang memiliki hak cipta atas karya yang dihasilkannya? Atau, apakah hak cipta tetap harus diberikan kepada entitas manusia yang mengembangkan atau mengoperasikan AI?
  • Teori Penciptaan (Creation Theory)
  • Teori ini berfokus pada bagaimana sebuah karya dikategorikan sebagai "karya ciptaan" yang sah dan terlindungi oleh hak cipta. Dalam teori ini, karya dianggap sebagai hasil dari aktivitas kreatif dan orisinal dari pencipta. Namun, jika yang menciptakan adalah AI, yang sebagian besar proses penciptaannya didorong oleh algoritma dan data, bagaimana cara kita menilai kreativitas dan orisinalitas? Apakah karya tersebut memenuhi kriteria penciptaan yang sah, ataukah proses yang dilakukan oleh AI lebih tepat disebut sebagai "produksi" daripada penciptaan?
  • Teori Hukum Harta Intelektual (Intellectual Property Law Theory)
  • Hukum HKI berfungsi untuk mengatur hak cipta, paten, merek dagang, dan desain industri dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap penciptaan atau inovasi agar bisa dimanfaatkan secara eksklusif. Namun, teori hukum HKI pada umumnya berasumsi bahwa "pencipta" adalah individu atau entitas manusia. Oleh karena itu, pendekatan ini akan mengkaji bagaimana sistem hukum saat ini---yang diatur oleh Undang-Undang Hak Cipta dapat menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi AI yang menghasilkan karya secara otomatis.

Pembahasan

  • Kepemilikan Hak Cipta atas Karya yang Diciptakan oleh AI

Kepemilikan hak cipta atas karya yang dihasilkan oleh AI merupakan salah satu permasalahan utama dalam konteks perkembangan hukum kekayaan intelektual saat ini. Dalam undang-undang hak cipta Indonesia, seperti diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014, disebutkan bahwa hak cipta hanya dapat diberikan kepada pencipta manusia, yakni individu atau kelompok yang menggunakan kemampuan intelektualnya untuk menciptakan suatu karya.

Namun, dengan berkembangnya AI yang mampu menghasilkan karya seni, musik, bahkan tulisan ilmiah secara mandiri, muncul perdebatan tentang siapa yang seharusnya diakui sebagai pemegang hak cipta atas karya tersebut. Ada beberapa opsi yang dapat dipertimbangkan, di antaranya:

  • Pengembang AI sebagai Pemegang Hak Cipta: Dalam pendekatan ini, pengembang yang menciptakan sistem AI dianggap sebagai pihak yang memiliki kontrol atas algoritma dan pelatihan yang digunakan oleh AI untuk menghasilkan karya. Dengan demikian, hak cipta akan diberikan kepada pengembang atau pemilik perangkat lunak AI yang digunakan dalam penciptaan karya.
  • Pengguna AI sebagai Pemegang Hak Cipta: Jika AI digunakan oleh individu atau perusahaan untuk menghasilkan karya, maka hak cipta dapat diberikan kepada pengguna yang memanfaatkan kemampuan AI untuk tujuan tertentu, seperti menciptakan karya seni, musik, atau literatur.
  • Karya Tanpa Kepemilikan: Opsi lain yang berkembang adalah bahwa karya yang sepenuhnya dihasilkan oleh AI tidak akan dilindungi oleh hak cipta sama sekali, mengingat tidak ada "pencipta manusia" yang dapat diakui sebagai pemegang hak cipta. Hal ini mungkin tidak sesuai dengan tujuan awal dari perlindungan hak cipta itu sendiri, yaitu untuk memberi insentif kepada pencipta untuk terus berinovasi.

Dalam praktik hukum internasional, negara-negara seperti Amerika Serikat telah membuat keputusan bahwa hak cipta tidak dapat diberikan kepada karya yang dihasilkan oleh mesin tanpa intervensi manusia. Hal ini tercermin dalam kebijakan U.S. Copyright Office yang menolak permohonan hak cipta untuk karya yang sepenuhnya dihasilkan oleh AI (U.S. Copyright Office, 2019). Di sisi lain, beberapa negara seperti Uni Eropa dan Inggris masih belum memiliki keputusan hukum yang jelas mengenai hal ini, meskipun banyak yang melihat perlunya adaptasi terhadap hukum hak cipta yang ada.

Mengingat bahwa pengembangan teknologi AI sangat cepat, perlu adanya pembaruan regulasi yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi perkembangan tersebut. Salah satu solusi yang diusulkan adalah mengadopsi model hak cipta berbasis "user-centric" atau "developer-centric" yang memberikan hak cipta kepada pihak yang dapat dianggap bertanggung jawab atas proses kreatif yang dilakukan oleh AI.

  • Penciptaan Karya oleh Sistem Kecerdasan Buatan

Karya yang dihasilkan oleh AI menimbulkan permasalahan terkait dengan definisi pencipta dalam konteks hak cipta. Menurut teori penciptaan, untuk sebuah karya mendapatkan perlindungan hak cipta, karya tersebut harus berasal dari aktivitas kreatif yang dilakukan oleh seorang individu. Namun, dalam kasus AI, penciptaan karya terjadi melalui proses algoritma dan data yang diprogramkan oleh manusia, namun AI itu sendiri yang menghasilkan output.

Seperti yang dijelaskan oleh Setiawan (2021) dalam artikelnya, meskipun AI dapat memproses data dan menghasilkan karya yang orisinal, karya tersebut tetap harus dipandang sebagai hasil dari kerja keras manusia dalam merancang, melatih, dan memprogram AI (Setiawan, 2021). Oleh karena itu, meskipun AI menghasilkan karya yang terlihat kreatif, pertanyaan utama adalah sejauh mana AI dapat dianggap "menciptakan" tanpa intervensi manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun