Mohon tunggu...
Dimas Putut Marsanto
Dimas Putut Marsanto Mohon Tunggu... Sales - Abdi Kehidupan

Peminat dan Penikmat Sastra, Budaya, Film, Arsitektur dan Perencanaan Keuangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Open BO, Glorifikasi Modernisme dan Ironi Emansipasi

18 April 2023   07:00 Diperbarui: 18 April 2023   07:22 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menjelang peringatan Hari Kartini 21 April jamak berguliran gagasan dan opini tentang semangat Kartini beserta geloranya mewarnai belantara pemikiran baik cetak maupun daring. Dan dalam konteks kegairahan itulah torehan ini juga dituangkan selain karena rasa trenyuh setelah membaca berita mutilasi seorang perempuan muda di Yogyakarta oleh teman kencannya di pertengahan bulan Maret lalu. Konon korban sebenarnya juga akan berencana menikah dalam rentang tak lama lagi. 

Sungguh sebuah suratan takdir yang dramatik antara kisah perjuangan seorang perempuan dalam mencari penghasilan bagi kedua anaknya dan keinginan untuk berumah tangga dengan kondisi “bagaimana mencari penghasilan” sebagai seorang teman kencan yang dilakukan oleh korban mutilasi. Tulisan ini tidak bertujuan menghakimi perilaku dan pelakunya namun lebih kepada menunjukkan rangkaian yang meunjukkan apa dan mengapanya.

Mengenai berkencan hampir semuanya pernah melantasi. Berkencan tentu merupakan suatu kewajaran dari sistem dimana dua orang berlawan jenis dengan ketertarikan bertemu dengan tujuan melakukan “penilaian”, “mencari kesesuaian” sebagai bakal calon pasangan. Namun jika berkencan dilakukan secara transaksional (jual-beli) maka pemahamannya memiliki tautan yang berbeda. Generasi kini memberi definisi mengenai hal itu. Istilah kekinian atas aktifitas perempuan yang membuka diri untuk “jasa” kencan transaksional dengan terma open BO

Open BO

Sekaligus merupakan satu judul serial film yang dibintangi oleh Wulan Guritno dan Winky Wiryawan dan konon sedang digandrungi warga netizen karena film tersebut ditayangkan secara streaming melalui kanal mainstream yang cukup dikenal. Sinopsis Open BO menceritakan kehidupan seorang perempuan bernama Ambar, yang harus menghadapi kerasnya dunia. Ia terjebak dalam dunia hitam prostitusi untuk bertahan hidup, serta membiayai segala keperluan diri dan anaknya. Sebagai catatan, Ambar merupakan single mother dan tekanan keadaan yang memaksanya seperti itu.

Terminologi Open BO (open booking online) digunakan biasanya oleh perempuan (dan sebenarnya ada juga pria) yang “membuka” dirinya untuk dibayar oleh para lelaki dalam konteks memenuhi hasrat birahi. Jadi para lelaki yang ingin "jajan" bisa melakukan booking secara online dan dilakukan melalui komunikasi online. Istilah open BO memang berasosiasi lekat dengan dunia prostitusi. Karena penawaran jasa adalah secara online, maka transaksi yang dilakukan juga melalui online termasuk didalamnya penggunaan media sosial.

Media sosial (apapun itu nama aplikasinya) merupakan produk dan sejarah dari modernitas. Saya sendiri lahir dan hidup dalam periode sejarah tersebut dan turut mengglorifikasi kehadiran -modernitas- media sosial (karena Saya memiliki beberapa akun media sosial). Media sosial memang menarik karena ia selalu menyapa dunia (pengguna) dengan ramah, namun di sisi lain secara laten ia mencerminkan situasi patologi sosial dari individu dan masyarakat. Media sosial memiliki tertib selalu berusaha berjalan di atas rel modernitas untuk menyatakan keberadaannya. Dia tidak lagi hanya sebuah aplikasi (alat) bagi seorang individu untuk menyatakan diri tetapi sebenarnya juga merupakan sebuah subyek yang otonom yang mempreposisi gaya hidup.

Dalam konteks kacamata postmodernisme, Kita lihat media sosial -sebagai penanda modernitas- dengan berbagai pertimbangan etisnya juga turut bergerak bersama masyarakat untuk membangun kehidupan yang konstruktif. Misalnya mulai ada terbangun kesadaran untuk melindungi privasi tiap orang, memastikan keakuratan informasi yang terkanal oleh media sosial, melindungi hak asasi setiap orang, memastikan semua orang untuk mengakses berbagai media sosial dengan valid (no hoax). Dari penilaian postmodernisme ini, Kita melihat bahwasanya penyelenggara masyarakat alias pemerintah turut memperhatikan media sosial. Sehingga dari kenyataan diatas, bisa dipastikan tidak ada manusia modern yang tidak luput dalam mengglorifikasi modernitas a.k.a media sosial.

Dalam sejarahnya, media sosial diarahkan oleh penciptanya sebagai “ruang temu”, bagaimana berkumpul, berhimpun dan berkomunikasi secara maya tanpa perlu kehadiran tubuh (fisik). Perjalanan waktu berlalu, ketidakhadiran tubuh secara fisik justru menjadi persoalan dan diskursus tersendiri oleh masyarakat pengguna media sosial. 

Manusia yang makhluk sosial tetap membutuhkan tubuh, manusia yang makhluk sosial menghajatkan penanda. Berhenti hanya pada tataran “avatar” saja tidak cukup memuaskan rasa visual manusia. Intervensi sosial media (teknologi) dan media lainnya kemudian mengakselerasi konsep tubuh yang dibentuk dalam masyarakat daring sebagai identitas sosial dunia maya. Sayangnya, perlahan masyarakat media sosial melihat tubuh tidak lagi hanya menyangkut identitas sosial seorang individu, namun cenderung kepada konsolidasi lain tubuh yakni seksualitas. 

Itulah yang menyebabkan citra tubuh, keindahan tubuh, sensasi tubuh dan sebagainya kemudian menjadi subur di media sosial. Patologi ini yang kemudian mengafirmasi aktifitas pertunjukan dan pameran tubuh secara eksploitatif dan seksual di media sosial. Rangkuman sosiologis tersebut kemudian ter-influence oleh watak kapitalistik manusia modern sehingga menjadi bidan kelahiran konsep open BO. Karena aktifitas pertunjukan dan pameran tubuh yang eksploitatif dan cenderung seksual tadi di media sosial ditransaksionalkan yang kemudian menjadikan tubuh hanya sebagai benda atau aset sosial. Pada dasarnya open BO merupakan kepingan dari prostitusi.

Ironi Emansipasi

Diskusi atas tubuh pernah dibahas filsuf Prancis, Michel Foucault dalam Kuasa-Pengetahuan. Dalam konteks ini adalah bagaimana seorang (perempuan –dan pria juga) mampu melakukan penolakan, ketidak mauan serta ketidaktertundukan atas kuasa dari rayuan, rangsangan dan belitan modernisme yang kapitalisitik terhadap tubuh mereka. Ketika tubuh yang dipertontonkan berlanjut ditransaksikan di media sosial berimplikasi mendapatkan ikon “disukai” serta pundi-pundi, sebagai seorang manusia perempuan yang berpengetahuan haruslah mudah memahami bahwasanya itu merupakan penyimpangan. Perempuan yang membuka status open BO, pada hakikatnya mereka adalah kategori yang tak kuasa mengatasi rayuan, rangsangan dan belitan pengaruh modernisme yang kapitalisitik terhadap tubuh mereka. Mereka menyadari ada celah disitu yang memberikan keuntungan- secara materi- sehingga justru mengamplifikasi tubuh sedemikian rupa agar memperoleh hasil –materi- lebih banyak lagi.

Seorang perempuan yang mewarisi semangat emansipasi (alias berpengetahuan) -seperti RA. Kartini- selayaknya mengerti bahwa modernisme yang tidak di kontrol (tidak dikuasai) akan merepresi tubuh hanya sebagai objek sehingga perempuan kalah terkadap kuasa modernisme. Jangan sampai modernisme (media sosial) memiliki kuasa atas manusia (apalagi tubuh perempuan). 

Uang dan kelimpahan yang diberikan media sosial dan teknologi memberi godaan secara ekonomi. Kuasa media sosial seperti pisau tajam apalagi jika berangkulan dengan seksualitas. Realitanya memang menunjukkan dimana-mana hal-hal berbau seksualitas dan sensualitas akan lebih cepat memiliki like dan review yang kuantitatif dibandingkan persoalan lainnya.

 Nah ini menjadikan manusia (perempuan) berlomba-lomba dalam menyajikan konten seksualitas yang bermotif ekonomi. Disinilah ironi tersebut, emansipasi yang dimaksud RA Kartini sebenarnya sederhana, yakni meningkatkan peran kaum perempuan, tanpa melupakan kodratnya sebagai wanita. Bukan perempuan berperan, bergiat untuk maksud kepemilikan, berharta atau berpunya karena watak kepemilikan dan berharta itu hanya provokasi dari modernisme. Perempuan Indonesia harus berani dengan pemikiran sendiri. Uang, kesejahteraan, keglamoran dan kemewahan akan lebih luhur diperoleh dari emansipasi (pengetahuan). Ketika perempuan bergiat dan bekerja secara mulia dan terhomat tentu remunerasi yang diterima. Ketika perempuan bergiat dan bekerja secara tegap dan terpuji tentu posisi perempuan secara gender tak lagi rendah. Mari Kita semua menjadi pribadi yang Valuable bukan Available.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun