Ironi Emansipasi
Diskusi atas tubuh pernah dibahas filsuf Prancis, Michel Foucault dalam Kuasa-Pengetahuan. Dalam konteks ini adalah bagaimana seorang (perempuan –dan pria juga) mampu melakukan penolakan, ketidak mauan serta ketidaktertundukan atas kuasa dari rayuan, rangsangan dan belitan modernisme yang kapitalisitik terhadap tubuh mereka. Ketika tubuh yang dipertontonkan berlanjut ditransaksikan di media sosial berimplikasi mendapatkan ikon “disukai” serta pundi-pundi, sebagai seorang manusia perempuan yang berpengetahuan haruslah mudah memahami bahwasanya itu merupakan penyimpangan. Perempuan yang membuka status open BO, pada hakikatnya mereka adalah kategori yang tak kuasa mengatasi rayuan, rangsangan dan belitan pengaruh modernisme yang kapitalisitik terhadap tubuh mereka. Mereka menyadari ada celah disitu yang memberikan keuntungan- secara materi- sehingga justru mengamplifikasi tubuh sedemikian rupa agar memperoleh hasil –materi- lebih banyak lagi.
Seorang perempuan yang mewarisi semangat emansipasi (alias berpengetahuan) -seperti RA. Kartini- selayaknya mengerti bahwa modernisme yang tidak di kontrol (tidak dikuasai) akan merepresi tubuh hanya sebagai objek sehingga perempuan kalah terkadap kuasa modernisme. Jangan sampai modernisme (media sosial) memiliki kuasa atas manusia (apalagi tubuh perempuan).
Uang dan kelimpahan yang diberikan media sosial dan teknologi memberi godaan secara ekonomi. Kuasa media sosial seperti pisau tajam apalagi jika berangkulan dengan seksualitas. Realitanya memang menunjukkan dimana-mana hal-hal berbau seksualitas dan sensualitas akan lebih cepat memiliki like dan review yang kuantitatif dibandingkan persoalan lainnya.
Nah ini menjadikan manusia (perempuan) berlomba-lomba dalam menyajikan konten seksualitas yang bermotif ekonomi. Disinilah ironi tersebut, emansipasi yang dimaksud RA Kartini sebenarnya sederhana, yakni meningkatkan peran kaum perempuan, tanpa melupakan kodratnya sebagai wanita. Bukan perempuan berperan, bergiat untuk maksud kepemilikan, berharta atau berpunya karena watak kepemilikan dan berharta itu hanya provokasi dari modernisme. Perempuan Indonesia harus berani dengan pemikiran sendiri. Uang, kesejahteraan, keglamoran dan kemewahan akan lebih luhur diperoleh dari emansipasi (pengetahuan). Ketika perempuan bergiat dan bekerja secara mulia dan terhomat tentu remunerasi yang diterima. Ketika perempuan bergiat dan bekerja secara tegap dan terpuji tentu posisi perempuan secara gender tak lagi rendah. Mari Kita semua menjadi pribadi yang Valuable bukan Available.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI