Mohon tunggu...
Hanna Chandra
Hanna Chandra Mohon Tunggu... lainnya -

Bernafaslah selagi gratis, tersenyumlah selagi tiada larangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah Alat Bukti dalam Mentersangkakan Jessica Lemah?

2 Februari 2016   20:14 Diperbarui: 2 Februari 2016   20:34 2715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Jessica Kumala Wongso / sumber kompas.com "][/caption]Setelah bergulir hampir selama 3 minggu, pada akhirnya Jumat, 29 Januari 2016 polisi menetapkan Jessica Kumala Wongso (Jess) sebagai tersangka pembunuhan berencana atas Wayan Mirna Salihin lewat segelas kopi Vietnam beracun sianida. Mengapa polisi terlihat gamang dan perlu waktu cukup panjang sebelum akhirnya mengeluarkan penetapan tersangka kepada Jess?

Seperti kita ketahui bersama, pasca tragedi bom Sarinah atau Thamrin, ada berbagai analisis dan opini yang mempertanyakan keakuratan rilis polisi berkaitan dengan teror tsb, maka demi asas keterbukaan dan kecermatan penanganan masalah, polisi tidak mau dituduh sembarangan dalam menangani perkara, apalagi kita kenal ada upaya praperadilan, jangan sampai penetapan yang dilakukan  polisi kembali mentah dan mental, apa jadinya cap publik atas polisi (yang mau tak mau suka tak suka harus diakui semakin hari semakin moncer dan menimbulkan decak kagum.... #ceile).

Dalam perkara terbunuhnya Mirna lewat racun sianida, maka potensi paling besar pelaku (dalam arti yang memasukkan racun sianida ke dalam cangkir kopi) adalah pegawai penyedia kopi atau penerima pertama, dalam hal ini Jessica. Bisa saja kita mengasumsikan pelaku tidak di lokasi –ada teori yang mengatakan pembunuh dengan racun sianida ingin efek mematikan berlangsung cepat agar kecil peluang korban diselamatkan. Karenanya pelaku pasti tidak ingin berada di lokasi yang sama saat korban menderita lalu tewas-- berarti katakanlah si X memakai jasa pegawai penyedia kopi, tapi yang jadi pertanyaan bagaimana pelaku memastikan kopi itu akan diminum Mirna? Bukankah yang tahu pemesanan kopi tsb hanya Mirna, Jessica dan Hani berdasarkan percakapan mereka via WA? Mengapa Hani berusaha mencoba mencicipi sementara Jessica menolak, kebetulan? Mengapa Hani terlihat panik dan berusaha menolong (dengan menepuk-nepuk punggung Mirna) sementara Jessica tidak menunjukkan usaha menolong alih-alih menjauh dari korban (Mirna) dan Hani?

Jika kita mengikuti kronologis peristiwa terbunuhnya Mirna, maka akan ditemui banyak kejanggalan-kejanggalan yang terdeteksi dari sikap dan perilaku Jess, berikut beberapa hal yang tercatat:

-      Jess hadir 40 menit lebih dahulu dari korban dan langsung membayar bill kopi tsb, hal yang tak lazim. Awalnya Jess mengaku kepada ayah korban kalau dia minum air mineral, namun belakangan dibantah pengacara Jess bahwa Jess minum cocktail yang dibeli buy one get one. Jika alasan Jess masuk akal, bukankah ybs pernah menyampaikan tidak ikut mencicipi kopi Mirna karena punya masalah lambung/maag, tidak boleh minum kopi yang strong, tapi anehnya berani minum cocktail yang mengandung alkohol, apa bedanya? Padahal waktu diperiksa di kantor polisi pasca penangkapan Jess justru minum kopi hitam. Berita terkait di sini.

-      Sebelum datang ke lokasi, Jess melontarkan pertanyaan di medsos adakah tenaga medis/dokter di Grand Indonesia? Untuk tujuan apa? Berikut capture pertanyaan Jess:

1/2/16, 1:57:09 PM: Jessica Kumala Wongso: Girls di GI ada dokter umum ga?
1/2/16, 2:05:47 PM: Mirna Salihin: Not that i know of
1/2/16, 2:12:49 PM: Mirna Salihin: Mau ke dokter apa Jes emgnya?
1/2/16, 2:18:07 PM: Jessica Kumala Wongso: Oh ok mau minta prescription vitamin D. Yg over the counter ga bagus. Di Sydney pake resep dokter
1/2/16, 3:25:24 PM: Mirna Salihin: Kalo tau mereknya bs dicari sih i think

Masakan hanya untuk mendapatkan vitamin memerlukan resep dokter, apakah sebaliknya tidak timbul kecurigaan bahwa Jess hendak memastikan tidak ada dokter yang bisa menetralisir efek sianida dalam melancarkan aksinya? Bisa saja muncul dugaan Jess sudah mengatur siasat pembunuhan dan menghendaki korban benar cepat mati/tidak tertolong di GI tanpa sempat ke dokter.

-      Pasca meninggalnya Mirna, Jess mempersilahkan asisten rumah tangganya membuang celana panjang yang digunakan di hari kejadian dengan alasan sobek, apakah Jess tidak tahu bahwa semua bukti sekecil apa pun dapat menjadi alasan menolak tudingan keterlibatan?

-      Jess menyiapkan pengacara selagi menjadi saksi dan sibuk ‘roadshow’ ke berbagai media massa sambil menampilkan senyum terbaik dan ketenangannya. Alasan yang dikemukakan bahwa ia bukan pelaku mengapa harus takut dengan mengurung diri? Hal ini berbanding terbalik dengan sikap Hani rekan sepertemuan mereka di GI. Ketenangan dan senyum dibalik pernyataan Jess sayang sekali tidak menunjukkan kekonsistenan. Ini menjadi petunjuk bagi penyidik.

-      Jika ada yang mau menambahkan atau memberikan klarifikasi silahkan dalam kolom komentar.

Tentu saja bukti CCTV peristiwa menjadi salah satu alasan yang sah-sah saja jika tidak dibuka oleh polisi sebagai bagian dari strategi penyelidikan. Dari CCTV yang kemungkinan tidak seutuhnya/komplit diungkapkan beberapa peristiwa yang tercatat sbb;

- Jess tidak langsung duduk ketika datang di kafe Olivier, ia menoleh ke kiri kanan mencari CCTV dan memutuskan duduk di dekat tanaman untuk berlindung dari intaian CCTV.

- Soal paper bag juga di luar kelaziman. Begitu duduk, paper bag semula berada di bawah. Namun, beberapa saat kemudian, Jess justru menaruh tas itu di atas meja.

- Dari 51 menit antara kopi disajikan sampai akhirnya kopi diminum Mirna, Jess "menguasai" kopi tersebut selama 45 menit.
- Sejumlah saksi (termasuk Jess sendiri) mengatakan setelah dibuat dan saat disajikan/diantar pelayan, kopi berwarna hitam. Setelah kejadian warna kopi menguning seperti diberi kunyit. Ini menandakan racun dimasukkan ke dalam kopi setelah disajikan, bukan saat diracik, bukan pula sebelum disajikan.
Setelah disajikan, Jess menguasai kopi selama 45 menit, dari total 51 menit sebelum kopi diminum Mirna.

- Dari CCTV terlihat : "ada waktu ketika Jess memegang kopi dan pada saat bersamaan melihat kondisi sekitar, berkali kali memegang rambut, dan setelah melakukan sesuatu pada kopi, dia mengembalikan kopi ke tempat semula. Setelah itu Jess memindahkan tas kertas dari meja ke tempat duduk".

Demikian kutipan berita dari harian Kompas dan link di sini.

Memang ada berbagai pihak yang meragukan apakah dengan minimnya alat bukti, penetapan tersangka atas Jess terburu-buru dan kurang bukti valid? Polisi sendiri dalam berbagai rilis menyatakan sudah memiliki sedikitnya 4 (empat) alat bukti.

Dalam hukum pidana dikenal beberapa jenis alat bukti. Berdasarkan pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan alat bukti yang sah sebagai berikut:

1.   Keterangan saksi

2.   Keterangan ahli

3.   Surat

4.   Petunjuk

5.   Keterangan Terdakwa

Keterangan saksi dan keterangan ahli diklaim sudah dikantongi polisi, begitu juga alat bukti surat berupa visum et repertum atas korban (Mirna) dan petunjuk-petunjuk yang sampai sekarang masih dikumpulkan dan dilakukan pendalaman, termasuk lewat pengakurasian data dari Polisi Federal Australia (AFP) untuk menelusuri dan mengungkapkan motif dan latar belakang di balik kasus pembunuhan Mirna. Yang menjadi pertanyaan menarik adalah apakah polisi memiliki bukti langsung bahwa Jessica lah yang memasukkan racun sianida ke dalam cangkir kopi Mirna? Jika tidak, maka otomatis gugurlah sangkaan di mata hakim dalam persidangan nanti, demikian pernyataan mantan hakim Asep Iwan Iriawan. Secara pribadi saya berpendapat jika semua perbuatan harus ada bukti langsung, bukankah akan ada begitu banyak pembunuh yang lolos dan dibebaskan dari tuntutan? Ini tidak berarti saya menutup kemungkinan polisi tidak memiliki alat bukti yang kuat.

Sistem pembuktian pidana di Indonesia menganut sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk), berdasarkan ketentuan pasal 183 KUHAP yang menyatakan:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Hal ini menandakan bahwa dalam hukum acara pidana Indonesia tidak ada satu alat bukti pun yang dapat dikatakan sebagai alat bukti terkuat/lemah, karena setiap putusan pemidanaan nantinya harus tetap didasarkan dengan 2 alat bukti yang sah (sesuai dengan ketentuan pasal 184 KUHAP) di tambah dengan keyakinan hakim berdasarkan alat bukti tsb apakah ada kesesuaian atasnya? Sangatlah wajar jika polisi keberatan membuka CCTV peristiwa 'hanya' demi tantangan pengacara Jess.

Menutup tulisan saya, marilah kita coba berprasangka baik pada kinerja polisi yang sudah berusaha menampilkan cara-cara penggalian dan identifikasi atas kasus pembunuhan Mirna secara fair dan apa adanya. Meskipun Jess sudah ditetapkan menjadi tersangka, tidaklah menutup kemungkinan keterlibatan pelaku lain atau bisa saja Jess terbebas dari sangkaan seandainya bisa memberikan penjelasan secara tepat dan konsisten. Tidak ada kejahatan yang sempurna, cepat atau lambat pasti terdeteksi. Semoga bermanfaat, salam.... :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun