[caption id="attachment_409000" align="aligncenter" width="560" caption="Sistem e-parking | tribunnews.com"][/caption]
Sejak September 2014 Pemprov DKI Jakarta melakukan e-Parking (parkir meter) untuk menambah pendapatan dari parkir on street (parkir pada badan jalan) yang selama ini diindikasi mengalami kebocoran pemasukan dari target yang diharapkan. Tahap uji pertama disinyalir sukses berlangsung di daerah Sabang (Jl. Haji Agus Salim – Jakarta Pusat) yang terkenal dengan gudang kulinernya.
Beberapa minggu lalu saya memarkir kendaraan saya di daerah Kelapa Gading. Ternyata Pemprov DKI Jakarta baru saja memberlakukan e-Parking tahap kedua (sejak 25 Maret 2015) di sepanjang jalur on street tersebut dengan tarif yang sama seperti di daerah Sabang yaitu Rp. 5.000,- perjam. Biasanya tarif parkir di sepanjang pinggir jalan Kelapa Gading – yang dipenuhi ruko dengan beragam usaha semisal perbankan, kuliner, apotik, service center provider, salon kecantikan, dll - dikenakan hanya Rp. 2.000,- untuk mobil dan Rp. 1.000,- untuk motor, meski terkadang saya memberikan Rp. 3000,- kepada juru parkir mengingat tarif parkir normatif pada on street kira-kira sejumlah demikian.
Dengan adanya peraturan parkir baru maka saya diarahkan juru parkir untuk membayar di mesin parkir meter terdekat dengan lokasi parkir kendaraan. Dalam setiap beberapa puluh meter tersedia mesin parkir yang dikendalikan power supply berbaterai kering. Jumlah seluruhnya ada 90 unit parkir meter yang beroperasi di sepanjang jalur Jakarta Utara tsb. Ini dia link berita terkait. Untunglah saya memiliki kartu flazz sehingga bisa melakukan pembayaran elektronik. Namun jika tidak punya, jangan kuatir karena juru parkir sudah dilengkapi dengan persediaan kartu pembayaran elektronik tsb, yang tentunya harus ditebus dengan sejumlah biaya tambahan. Olala... ternyata tukang parkir di sana masih agak bingung sehingga ketika membantu saya, dia salah tekan dan uang saya terpotong Rp 8.000,- yaitu biaya untuk parkir bus/truk sementara saya memarkir kendaraan berupa mobil. Dalam mesin parkir meter tersebut ada 3 pilihan jenis kendaraan dengan tombol warna kuning dari urutan paling kiri untuk motor, berikutnya mobil dan terakhir bus/truk. Berikut penjelasan singkat cara pakai parkir meter.
[caption id="" align="aligncenter" width="405" caption="Mesin parking meter menggunakan e-payment | Foto: Pribadi"]
[caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="Kesalahan juru parkir saat menggunakan parking meter | Foto: Pribadi"]
Peristiwa itu membuat saya terlibat pembicaraan panjang lebar dengan sang juru parkir yang membuat kami berdua sama-sama kaget. Di satu sisi, saya kaget karena ternyata bahwa sebagian (besar) pengendara mobil keberatan membayar dengan sistem e-Parking dan banyak pengendara yang memaki-maki petugas parkir ketika sang petugas parkir meminta pengendara mobil/motor membayar dengan sistem e-Parking. Saya sendiri sempat menyaksikan seorang pengendara mobil yang cukup mewah menolak pembayaran dengan sistem e-Parking dan marah-marah kepada juru parkir dengan nada keras. Alasannya, dia hanya parkir sebentar sehingga dia merasa terlalu mahal jika harus membayar biaya parkir Rp 5.000,-
Di sisi lain, sang tukang parkir kaget ketika mendengar saya mengatakan bahwa Pak Ahok menjanjikan honor dua kali UMR bagi tukang parkir. Kenyataannya, dia hanya mendapat honor sebatas UMR! Jauh dibawah pendapatan sebelumnya yang diperoleh juru parkir tersebut. Pasalnya, ternyata bahwa parkir on-street itu dikelola oleh perusahaan swasta, yaitu PT Mata Biru. Nama perusahaan tersebut tertera pada baju seragam yang dikenakan sang juru parkir berikut topi yang dikenakan.
Dalam hati saya bertanya-tanya, “Bagaimana Pak Ahok dapat mengecek bahwa tukang parkir di DKI benar-benar dibayar dengan standar UMR?” Pertanyaan selanjutnya adalah, “Apakah Pak Ahok sudah memperhatikan masak-masak akibat yang timbul dari kebijakan tersebut?”
Saya setuju dengan dasar pemikiran Pak Ahok bahwa ongkos parkir yang dibebankan kepada para pemilik kendaraan bermotor tidak seharusnya masuk ke kantong para penguasa jalanan, melainkan seharusnya menjadi sumber keuangan pemerintah daerah, dan selanjutnya dipakai untuk membangun infrastruktur jalan dan berbagai keperluan lainnya. Namun, pelaksanaannya harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat, yaitu kepentingan pemilik kendaraan, kepentingan juru parkir, dan kepentingan pemilik usaha. Perlu diketahui, sarana transportasi publik semisal bus TransJakarta belum menjangkau lokasi dimaksud.
Dari sisi pemilik kendaraan, bila sang pemilik hanya perlu parkir sebentar, misalnya untuk mengambil uang di ATM atau membeli roti atau jika membeli obat di apotik, dia tentu berpikir dua kali bila harus membayar Rp 5.000,- untuk mengambil uang dalam jumlah sedikit atau membeli roti dalam jumlah sedikit, demikian juga dengan obat yang dibeli. Alternatifnya, dia akan mengumpulkan (menumpuk) keperluannya sehingga sekali parkir dapat memenuhi berbagai kebutuhan, dan tempat untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti itu adalah di supermarket besar atau mal. Bila hal ini berkembang menjadi kebiasaan masyarakat, usaha kecil akan mati dan yang bisa berkembang adalah usaha besar dan menengah. Perkembangan terakhir yang saya amati, parkir on street tersebut mulai berkurang sementara parkir disekitar mal terdekat menumpuk. Sebagai masyarakat awam, tentu tidak berlebihan jika mereka akhirnya memilih memarkir kendaraannya di mal yang terasa lebih aman dan murah ketimbang parkir on street.
Pelaksanaan e-Parking on-street juga rumit karena parkir jalanan umumnya adalah parkir di tempat terbuka! Bagaimana memastikan bahwa setiap mobil telah membayar biaya parkir? Bila pengendara telah menuju ke mesin pembayaran parkir dan sang juru parkir sedang sibuk membantu pengendara yang kesulitan parkir, apakah si juru parkir mau atau berani mengecek apakah si pengendara telah benar-benar membayar? Bagaimana para tukang parkir (yang notabene adalah kaum menengah ke bawah) bisa menghadapi si congkak kaya dan pandai yang tidak mau membayar dengan sistem e-Parking?
Secara pribadi saya ingin memberi usulan agar program e-Parking ini bisa disambut (bukan dianggap sebagai musuh) oleh masyarakat.
- Jangan menyamaratakan biaya parkir. Sebelum menetapkan biaya parkir, usahakan mencari tahu dulu berapa biaya parkir yang umum berlaku di tempat tersebut dan lakukanlah sosialisasi yang memadai sehingga penjelasan tentang mekanisme perparkiran tidak perlu menjadi tugas para juru parkir tersebut. Dalam hal ini pola blusukan yang menjadi gaya pak Jokowi wajib hukumnya dijalankan. Jika perlu, lakukanlah sosialisasi melalui televisi dengan himbauan langsung dari gubernurnya pak Ahok sendiri (tapi jangan dengan marah-marah wkkwkkw)
- Mulailah dengan biaya parkir yang wajar menurut ukuran di wilayah itu. Bukankah yang penting adalah biaya parkir masuk ke kas Pemerintah Daerah dan bukan masuk ke kantong penguasa lahan parkir? Saya mendapat informasi dari juru parkir bahwa sebagian besar kendaraan yang parkir di atas pukul 10 malam akan cenderung memberikan uang kepada juru parkir ketimbang menyetor ke mesin parkir meter. Tentunya saya berpesan agar juru parkir tersebut berhati-hati jangan sampai terjadi ketika dilakukan pengawasan, merekalah yang mendapat dampak phk bila ketahuan menerima uang.
- Setelah program e-Parking ini diterima masyarakat dengan rasa senang, barulah biaya parkir disesuaikan secara bertahap setara dengan tarif ideal parkir di sekitar lokasi tersebut.
Semoga bermanfaat!
Selamat sore Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H