Mohon tunggu...
sam
sam Mohon Tunggu... Lainnya - peace and harmony enthusiast

just an ordinary student (a learner) | peace and harmony enthusiast I blog (often in English) too on https://sustainableharmony.wixsite.com/blog

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dualisme Keharmonisan Islam dalam "Maaf"

24 Mei 2020   15:28 Diperbarui: 24 Mei 2020   17:16 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maaf memiliki lingkup (pengertian) yang luas -maaf bisa berarti memohon maaf dan atau memberi maaf. Dalam Islam, kata maaf melekat pada tiga kata yakni ‘afw, safh, dan ghafara yang memiliki makna dasar yang berbeda-beda. Maaf secara terminologi ‘afw dimaknai memaafkan dan menghapus kesalahan orang lain; safh bermakna lapang dan lembaran baru; sementara ghafara bermakna menutup.

Penafsiran maaf dari kata ‘afw, mengajarkan bahwa maaf hendaknya tidak berlaku sebagian atau memaafkan hanya sebagian kesalahan orang lain saja. Maaf harus disertai dengan ketulusan -meskipun tanpa ada permintaan maaf; ataupun jaminan dari orang lain untuk tidak lagi membuat kesalahan. 

Sementara safh dan ghafara, mengingatkan bahwa maaf hendaknya disertai dengan membayangkan sebuah relasi harmoni yang baru dan menutup lembaran lama -untuk tidak lagi mengungkit masalah di kemudian hari, ataupun mengungkit permohonan/ pemberian maaf yang pernah diberikan. Namun begitu, sekali lagi dikatakan, maaf memiliki lingkup yang luas dan tidak terbatas hanya dalam interpretasi yang baru saja disampaikan.

Maaf, juga tidak terbatas hanya dalam relasi antar manusia atau makhluk hidup lainnya, namun juga dengan Tuhan, bahkan dengan dirinya sendiri, atau dengan segala kemungkinan lainnya -dan, tidak untuk dimaknai secara terpisah-pisah maupun satu arah saja. Sebab maaf adalah pondasi dari keharmonisan, maaf harus dimaknai secara luas dalam relasi kebersalingan. Dalam interpretasi misalnya, memaafkan diri sendiri dapat menjadi cara untuk menghilangkan ego dalam diri, lantas membangun jembatan keberanian untuk meminta maaf kepada orang lain, dan, hal itulah yang lalu menjadi bukti akhlak mulia yang disaksikan oleh Tuhan dan adalah cerminan yang akan dibalas oleh Tuhan dengan setimpal yakni pengampunan dari Tuhan.

Lantas, bagaimana bila ‘tidak memberi maaf’ ataupun ‘tidak meminta maaf’? Dalam agama, maaf adalah perintah langsung dari Tuhan, baik untuk memberi maaf ataupun meminta maaf. Hanya saja, diri manusia yang adalah medium bagi ego, tentu saja seringkali kesulitan untuk meminta maaf maupun memberi maaf. Oleh karena itu pulalah, Tuhan menilai maaf-memaafkan sebagai perwujudan akhlak yang mulia dan termasuk perbuatan yang terpuji.

Namun paling tidak, ketika mengalami kesulitan untuk memberi maaf, manusia selaiknya mengingat bahwa ia pun sama dengan orang lain -bahwa mungkin saja orang lain pun kesulitan memberi maaf kepada mereka, dan pada akhirnya, maaf akan kesulitan berjalan dalam relasi dua arah ataupun menciptakan keharmonisan dalam hubungan bila manusia tidak mampu meruntuhkan egonya. 

Menutup maaf kepada orang lain, juga hanya akan terus membuka luka dalam hubungan yang seharusnya malah ditutup -untuk bisa membuka lembaran baru. Tidak memberikan maaf, sama halnya dengan terus membiarkan rasa dendam, kecewa, kesedihan, dan permusuhan terus tumbuh dan menjadi penghalang bagi cinta kasih dan toleransi. Sama halnya pula bila manusia merasa enggan untuk meminta maaf.

Akan tetapi, apakah mungkin ada hal-hal yang tidak perlu untuk diminta ataupun diberi maaf? Tentu mungkin saja ada, sebab maaf sendiri memiliki lingkup makna yang tidak terbatas, begitu pula akan kemungkinan apa yang tidak perlu diberi atau diminta maaf. Misalnya saja, meminta maaf karena melakukan sebuah kebaikan yang meski tidak dianggap baik oleh orang lain; atau, bila mencintai seseorang; memiliki pandangan atau pendapat yang berbeda dengan orang lain; ketika menyampaikan kebenaran; bahkan ketika tidak mampu mencapai ekspektasi orang lain; ataupun karena berani berkata tidak sesuai dengan keinginan diri sendiri secara sadar, dan lain sebagainya.

Lalu, bagaimana bila sudah meminta maaf namun tidak dimaafkan, atau justru memicu kemarahan orang lain? Tentu saja, hal seperti ini pun mungkin saja terjadi, apalagi dalam relasi antar manusia. Prof. Quraish Shihab pernah mengulas hal ini dalam bukunya “Membumikan Alquran”. Dikatakan bahwa Rasulullah SAW pernah berada dalam situasi demikian, lantas ia mengajarkan sebuah doa:

“Ya Allah, sesungguhnya aku memiliki dosa kepada-Mu dan dosa yang kulakukan kepada makhluk-Mu. Aku bermohon Ya Allah, agar Engkau mengampuni dosa yang kulakukan kepada-Mu serta mengambil alih dan menanggung dosa yang kulakukan kepada makhluk-Mu.”

Mengingat penjelasan sebelumnya akan lingkup relasi maaf yang luas, ketika tidak mendapatkan permaafan dari orang lain, paling tidak yang bisa dilakukan ialah pertama, menerima situasi dan memaafkan diri -tidak membebankan diri akan kesalahan yang tidak dimaafkan; dan meminta ampunan kepada Tuhan -agar Tuhan mengambil alih permohonan maaf yang sebelumnya disampaikan kepada orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun