Mohon tunggu...
Hani Rai
Hani Rai Mohon Tunggu... Petani - Belajar jadi petani

blogging, handcrafting, journaling, eco farming

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Ngabuburit Klasik Ke Kampung Bersejarah Kauman dan Kotagede

16 Maret 2024   20:01 Diperbarui: 16 Maret 2024   20:05 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ngabuburit alias ngalantung ngadagoan burit (sunda) atau bersantai sambil menghabiskan waktu sore tentu jadi kegiatan favorit di bulan ramadhan. Apalagi kalau bukan cuci mata sembari mencari takjil.

Biasanya ngabuburit identik dengan menikmati suasana cozy perkotaan masa kini, taman perumahan, pemandangan alam, atau keriuhan jajanan takjil pinggir jalan. Kini saya ingin ngabuburit dengan nuansa klasik, merasai
kemegahan kerajaan di Jogja melalui masjid besar dan sekitarnya :  Kerajaan Mataram Islam dan Kesultanan Ngayogjakarta Hadiningrat.

Pola tata ruang masa lalu ditandai dengan catur gatra yakni keberadaan kraton (pusat pemerintahan), masjid (pusat keagamaan), pasar (pusat ekonomi) dan alun-alun (tempat aktivitas rakyat dan tempat rakyat bertemu Raja). Masih adakah tanda kejayaan itu ? Yuk mari ngabuburit ke Kauman dan Kotagede.

Takjil Kicak dan Brongkos di Kauman
Ada satu gang di kawasan Kauman Jogja yang kondang sebagai tempat cari takjil buka puasa. Pasar Sore Ramadhan Kampung Kauman, tempatnya dalam gang, sisi selatan Jalan KHA Dahlan, tak jauh dari RS PKU Muhammadiyah Jogja.

Almarhumah ibunda sering meminta saya mengantarkan ke sana. "Nostalgia masa sekolah dan ngekos di Kauman," kata beliau. Kauman (berasal dari kata Kaum), merupakan kampung pusat keagamaan yang cukup kental bernuansa Islam. Rumah-rumah berdempetan dan gang sempit menghubungkan satu sama lain.


Makanan khas ramadhan di gang Kauman adalah kicak. Camilan karya Mbah Wono ini berwarna putih, terbuat dari ketan, kelapa, dan nangka. Rasanya manis gurih lembut berpadu aroma nangka dan pandan. Aneka jajan pasar tersedia. Minuman khasnya setup jambu. Jambu biji yang direbus dengan kayu manis dan gula. Rasanya sederhana dan klasik.

Sumber : Pariwisata.jogjakota.id
Sumber : Pariwisata.jogjakota.id
Untuk lauk pauk ada beraneka rupa, namun bagi saya, brongkos, identik dengan Kauman. Tante saya yang bersuamikan orang Kauman asli, sering memasak lauk ini. 

Brongkos merupakan lauk berkuah hitam dari kluwak plus santan dengan isian kacang tolo, daging sapi, telur, tahu, dan kulit mlinjo. Rasanya gurih, apalagi kalau sambil nyeplus cabe rawit yang dimasukkan utuh ke kuah. Maknyus.

Maka brongkos koyor yang dijual di pasar ramadan ini mengingatkan saya pada tante dan tentu saja, Kauman.

Masjid Gedhe Kauman
Setelah cari takjil, kita bisa berjalan kaki menyusuri gang sempit kampung Kauman menuju Masjid Gedhe Kauman.

Masjid Gedhe, biasa disebut demikian, berada di barat Alun-Alun Utara, Kraton Ngayogyakarta. Masjid ini berdiri tahun 1773 atas prakarsa Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Kiai Fakih Ibrahim Diponingrat selaku penghulu keraton.

Gaya arsitekturnya seperti Masjid Demak. Ada empat pilar utama atau saka guru  dan 48 pilar lainnya. Atapnya bersusun tiga. Di puncak atap dipasang hiasan mahkota atau mustaka berbentuk bunga.

Di dalam Masjid Gedhe ada ruangan khusus bagi raja ketika hadir di masjid, berada di baris terdepan, dikenal dengan nama maksura.
Pada masa awal Kesultanan Yogyakarta,  serambi masjid menjadi tempat pengadilan agama, pertemuan ulama, dan pengajian.


Sumber : kratonjogja.id
Sumber : kratonjogja.id
Di sinilah KH Ahmad Dahlan memulai tugas sebagai khatib amin. Beliau adalah pendiri Muhammadiyah, organisasi Islam yang terus berkiprah hingga kini.

Di Masjid Gedhe Kauman ini kita bisa duduk sambil menanti adzan magrib, menikmati kemegahan arsitektur dan dapat takjil makan gratis buka puasa. Bisa juga membuka bekal dari belanja di pasar ramadan di Gang Kauman. Syahdu, mendengarkan ceramah sambil membayangkan diri berada di era Kyai Ahmad Dahlan berdakwah.

Menerobos Waktu ke Mataram Islam
Sebelum Kesultanan Ngayogyakarta, di Yogyakarta berdiri Kerajaan Mataram Islam.
Ini berawal dari Ki Ageng Pemanahan dan Sutawijaya (anaknya) yang diberi tanah oleh Raja Hadiwijaya dari Pajang. Tanah itu bernama Alas Mentaok yang berlokasi di daerah Kotagede. Atas saran Sunan Kalijaga, di tanah tersebut dibangun masjid.

Kotagede adalah ibukota kerajaan Mataram Islam dan Masjid Gedhe Kotagede menjadi bagian penting. Masjid ini mulai dibangun tahun 1578 pada era Panembahan Senopati (raja Mataram pertama). Sultan Agung, raja Mataram ke-3 merenovasinya pada 1644.

Di kemudian hari, Kerajaan Mataram Islam terpecah akibat perjanjian Gianti menjadi Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Uniknya, masjid Kotagede dikelola kraton Surakarta dan Yogyakarta. Itulah mengapa Pakubuwono (Raja Surakarta) juga pernah melakukan renovasi masjid ini.

Masjid Kotagede juga menjadi wujud akulturasi islam dan hindu. Ruang utama memiliki atap berbentuk piramida bertingkat dua, terbuat dari kayu. Puncaknya diberi mahkota yang disebut pataka. Ada semacam kolam di sekeliling masjid. Pagar masjid dari batu bata merah besar yang wujudnya mengingatkan pada kerajaan hindu di nusantara. Dahulu, pagar masjid ini memang dibangun umat hindu.


Sumber : Budaya.jogjaprov.go.id
Sumber : Budaya.jogjaprov.go.id
Tak jauh dari masjid terdapat kompleks pemakaman Raja-Raja Mataram dan sendang (pemandian). 

Berkeliling di seputaran Masjid Gedhe Kotagede seolah menarik kita dalam pusaran kejayaan Mataram masa lalu. Bahwa masjid dan penyebaran Islam menjadi bagian penting dalam perkembangan Kerajaan Mataram. Cobalah duduk setelah sholat ashar dan menanti berbuka puasa di sini. Apalagi kalau sebelumnya sudah ngabuburit di Pasar Kotagede.

Sargede - Pasar Legi Kotagede
Tak jauh dari masjid ada Pasar Legi Kotagede (Sargede) yang selalu ramai. Konon pasar inilah yang pertama kali dibangun Ki Ageng Pemanahan sebagai pusat kegiatan ekonomi.

Di abad 16, di bawah pohon nan rindang, orang-orang antar etnis dan agama bertemu untuk jual beli. Pasar dari masa awal Kerajaan Mataram Islam ini masih eksis hingga kini meskipun mengalami renovasi.

Sumber : tribunnewswiki.com
Sumber : tribunnewswiki.com
Pasarnya bersih. Pasar buka mulai pagi hari. Di kalender Jawa legi, pasar Kotagede akan sangat ramai karena memang hari pasarnya legi. 

Di bulan ramadan, saat menjelang berbuka puasa, Pasar Kotagede menyediakan aneka rupa jajan pasar. Tempat ini jadi tempat tujuan beli takjil ke masjid-masjid. 

Makanan khas Kotagede adalah kipo, kue dari tepung ketan berwarna hijau berbentuk setengah lingkaran yang diisi unti kelapa gula merah. Bentuknya kecil dan biasanya disusun di atas daun pisang. Ada juga yangko, jadah manten, kembang waru, dll.

Almarhumah ibunda dulu senang ke sini untuk cari takjil buka puasa. Baru saya sadari, ternyata 2 tempat yang ibu senang datangi kala ramadan merupakan 2 situs bersejarah di Jogja.

Kotagede, Ibukota Kerajaan yang Berkembang
Kotagede merupakan sentra kerajinan perak. Mulanya untuk memenuhi kebutuhan kerajaan Mataram. Datangnya kolonialis Belanda membuat kerajinan perak makin berkembang.

Terpecahnya kerajaan Kasultanan Ngayogyakarta, Paku Alaman, Kasunanan Surakarta, dan Mangkunegara, membuat pengrajin perak Kotagede menyuplai kebutuhan perak ke 4 kerajaan tersebut. Hingga kini, kerajinan perak Kotagede masih ada.

Bangunan kerajaan Mataram Islam yang saat ini masih ada di Kotagede adalah masjid, benteng, pasar, dan makam. Bangunan kerajaannya sudah tidak ada.

Seperti halnya pemukiman seputar Kraton Ngayogyakarta, di Kotagede juga terdapat pemukiman. Rumah-rumah klasik terbangun rapat dalam gang-gang sempit. Penghuninya guyub saling mengenal satu sama lain. Namun sayang, gempa Jogja 2006 turut menghancurkan rumah-rumah joglo.

Kalau menyusuri kampung Kotagede sendirian, dijamin, kita akan tersesat. Namun jangan khawatir karena warga akan ramah menyapa memberi tahu arah.

Ngabuburit di Kawasan Bersejarah
Kotagede sebagai ibukota Kerajaan Mataram Islam, dan Kauman sebagai kampung santri di area Kraton Ngayogjakarta sangat unik. Kedua tempat itu memiliki Masjid Gedhe dengan bangunan klasik dan menawan. Keduanya punya kampung dengan gang labirin. Keduanya dekat dengan pasar. Kotagede punya Sargede yang berdiri sejak abad 16. Kauman dekat dengan pasar Beringharjo dan punya event tahunan pasar ramadan. Sungguh beruntung Jogja memiliki keduanya, jejak kejayaan kerajaan.

Ah, ngabuburit klasik itu, ternyata asik.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun