Apa efeknya kalau makan makanan yang banyak micinnya ? Biasanya bibir saya akan bereaksi , agak menebal gitu, sakit perut, atau sakit kepala. Kalau sudah begini, biasanya saya jadi kapok dan berjanji untuk tidak mengulanginya (kalau tidak lupa dan kepepet).
Lalu gimana kalau kondisi darurat ? Adanya cuma makanan itu, atau lagi ada acara. Kalau tidak bisa memilih, ya saya makan saja. Kalau bisa memilih, saya ambil makanan  yang bersayur dan protein. Setelahnya saya bakar kalori dengan yoga asana dan minum wedang rimpang rempah. Gembrobyos, enak.
Ini sungguhan lho. Tangan saya sering berwarna kuning karena kupas dan potong kunyit. Â Bahkan saya putuskan untuk memilih menanam rimpang dan tanaman obat keluarga daripada nanam varigata. Saya merasa perlu menyediakan apotek hidup di rumah.
Lalu bagaimana kalau lagi malas kupas kunyit, jahe, atau potong sereh,  atau saat badan kurang sehat, atau lagi travelling ? Nah, kita perlu versi instannya. Misalnya : Saripati LAER, tinggal seduh saja di gelas dan siap diminum panas-panas.  Bikin berkeringat  dan segar lagi !
Kedua, menemukan sumber raw material bagus, lokal, dan murahÂ
Ini penting banget. Mengapa ?
Kakak saya hobi baking kue gluten free, weih bahannya gak main-main bok. Tepung sorgum, gula aren, minyak kelapa, raw cacao, keju dan butter premium. Â Organik, rendah indeks glikemik, dan murni. Bahan-bahan berkualitas itu sebanding dengan effort dan harganya.Â
Kakak juga sering bikin saos tomat asli untuk lasagna. Ternyata membuat bumbu masakan yang mengandalkan citarasa asli ini butuh raw material yang banyak dan berkualitas. Proses pembuatannya pun njelimet dan lama. Bayangkan jika harga tomat melonjak 25k/kg. Berapa biayanya untuk bikin saos tomat segar sepanci ?
Saya sendiri menjadikan memasak sebagai kebutuhan bertahan hidup (sehat). Efek tinggal di pelosok beberapa tahun mengenalkan saya pada intensitas penggunaan rempah untuk bumbu masakan. Katakanlah rica-rica (ayam kampung), palekko (bebek), cotto (daging-skip jerohan). Â Â