Magnum Opus ini dibuka dengan firman Allah Swt. dalam QS. Al-Hujarat ayat 13.Â
Allah berfirman, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku- suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal". Kandungan ayat tersebut memberikan suatu informasi bahwa diciptakannya manusia dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling kenal-mengenal (berinteraksi) antara satu dengan yang lainnya, demi menciptkan kebaikan dan kedamaian. Jika kita korelasikan ayat di atas dengan pendidikan, maka dapat menghasilkan sebuah produk yang dinamakan pendidikan multikultural.Â
Pendidikan multikultural adalah pendekatan pendidikan yang bertujuan untuk menghargai, menghormati, dan memahami keberagaman budaya, etnis, agama, bahasa, dan latar belakang sosial dalam lingkungan pendidikan. Pendekatan ini mengakui bahwa masyarakat kita merupakan masyarakat yang multikultural, di mana individu-individu dengan latar belakang yang berbeda hidup bersama.
Ketika kita mendengar istilah kebudayaan tentu sudah tidak asing lagi. Sering kali kita menerjemahkan kebudayaan sebagai sebuah bentuk kesenian dan pertunjukan semata. Padahal sebenarnya kebudayaan merupakan ide gagasan, perspektif, dan pola hidup yang menyangkut segala aspek kehidupan. Kebudayaan menjadi cara manusia merespons segala permasalahan hidup, mulai dari problem personal-komunal, masalah sosial, ekonomi, politik, hingga pendidikan. Dalam perspektif pendidikan, kebudayaan memiliki peran yang signifikan. Hal ini tercermin pada kebudayaan masyarakat desa ketika memaknai kearifan lokal dalam kehidupannya dan diintegrasikan dengan kurikulum pendidikan dengan berbasis pendekatan multikultural.
Kearifan lokal merupakan salah satu warisan penting yang kaya akan nilai-nilai budaya, sosial, dan lingkungan. Tradisi ini telah lama dijaga dan dipraktikkan oleh masyarakat. Di tengah laju modernisasi dan globalisasi, menjaga dan mempromosikan kearifan lokal menjadi semakin penting, terutama dalam konteks pendidikan. Integrasi kearifan lokal dalam pendidikan dapat memberikan pembelajaran yang lebih kontekstual, relevan, dan bermakna bagi siswa. Salah satu contoh kearifan lokal yang memiliki potensi besar untuk diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan adalah tradisi Nyadran Lintas Agama yang ada di Kaloran, Temanggung. Tradisi ini tidak hanya kaya akan makna budaya, tetapi juga memiliki nilai-nilai filosofi yang penting.
Dalam konteks pendidikan, tradisi Nyadran Lintas Agama berperan sebagai media yang efektif untuk mengajarkan siswa tentang pentingnya saling menghormati dan kebersamaan. Hal ini dapat dicapai melalui pendekatan etnopedagogi, yaitu pendekatan pendidikan yang menghubungkan nilai-nilai budaya lokal dengan proses pembelajaran. Dengan demikian, siswa dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan antara manusia, budaya, dan lingkungan. Melalui etnopedagogi, siswa dapat memahami nilai-nilai budaya yang terkandung dalam tradisi Nyadran Lintas Agama yaitu nilai toleransi, kebersamaan, tolong menolong, gotong royong, cinta lingkungan, dan nilai religius.
Etnopedagogi, sebagai pendekatan yang mengintegrasikan kearifan lokal, memiliki relevansi tinggi di era globalisasi saat ini. Identitas budaya lokal sering kali terancam oleh homogenisasi budaya global yang menyebabkan nilai-nilai lokal terkikis. Oleh karena itu, penerapan kearifan lokal dalam pendidikan tidak hanya bertujuan untuk melestarikan warisan budaya, tetapi juga membantu siswa memahami tantangan yang dihadapi dunia saat ini. Artikel ini akan membahas bagaimana tradisi Nyadran Lintas Agama dapat diintegrasikan ke dalam pendidikan multikultural melalui pendekatan etnopedagogi serta dampak positifnya terhadap kesadaran budaya dan toleransi siswa.
Pentingnya Integrasi Kearifan Lokal dalam Pendidikan
Kearifan lokal memiliki peran penting dalam memperkaya pembelajaran. Salah satu keunggulannya adalah relevansi sosial dan budaya yang erat dengan kehidupan sehari-hari siswa. Dengan memanfaatkan kearifan lokal, siswa dapat memahami konsep akademik dengan lebih baik dan sekaligus memperkuat identitas budaya serta karakter mereka. Penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran yang berbasis kearifan lokal tidak hanya meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep akademik, tetapi juga membantu siswa untuk mengatasi dampak negatif globalisasi yang dapat mengikis identitas budaya lokal (Azizah, 2022).
Nilai-Nilai dalam Tradisi Nyadran Lintas Agama
Nyadran merupakan salah satu kearifan lokal yang ada di Kecamatan Kaloran dan sejumlah daerah lainnya. Selain Temanggung, di daerah Semarang tradisi sejenis juga dikenal, namun dengan nama yang berbeda-beda. Ada yang menyebutnya dengan Safaran, Ruwahan, dan Rejeban. Untuk di Kaloran, istilah yang digunakan adalah Nyadran dan digelar setiap Jumat Pon pada bulan Rajab atau Safar. Sebelum prosesi Nyadran, masyarakat secara bersama-sama melakukan berseh, bersih makam, jalan, batu nisan dan lainnya semua dibersihkan. Berseh tidak hanya dilakukan di kuburan, tetapi juga dilakukan di sungai, sumber mata air, tempat sakral, dan lainnya. Setelah berseh, diadakan kenduri yaitu makan bersama di makam leluhur. Sebelum menikmati kenduri yang telah disiapkan, Nyadran ditutup dengan memanjatkan doa secara bergantian, dari tokoh Islam dan tokoh Buddha. Semua agama bersama mengikuti tradisi ini. Karena itu dinamakan tradisi Nyadran Lintas Agama.
Terdapat tiga makna utama dalam tradisi Nyadran, yaitu: spiritual, sosial, dan lingkungan atau ekologi. Secara spiritual, Nyadran menjadikan relasi bersama antara manusia dengan leluhur tetap jalan dalam ikatan kuat. Ikatan itu berupa penghormatan terhadap leluhur. Secara sosial, Nyadran menguatkan budaya gotong royong, membangun jejaring bersama, dan juga toleransi. Saat Nyadran, semua kumpul bareng lintas agama, berbaris berdampingan melepaskan identitas agama. Semua merasa menjadi bagian dari keturunan leluhur. Mereka bisa berbagi makanan tanpa memandang identitas. Makna ketiga yang terkandung dalam tradisi Nyadran berkenaan dengan lingkungan. Sebelum prosesi Nyadran, masyarakat secara bersama-sama melakukan berseh yang artinya bersih-bersih, bersih makam, jalan, batu nisan dan lainnya. Semua dibersihkan, ini mencerminkan nilai cinta terhadap kebersihan lingkungan sekitar. Nyadran menjadi ajang untuk berbaur dengan masyarakat, saling menyayangi, saling menyayangi satu sama lain. Nuansa kedamaian, humanitas dan familiar sangat kental terasa. Apabila nyadran ditingkatkan kualitas jalinan sosialnya, rasanya Indonesia ini menjadi benar-benar rukun, ayom-ayem, dan tenteram.
Dampak Positif dari Integrasi Kearifan Lokal Nyadran  dalam Pendidikan
Integrasi tradisi Nyadran dalam pendidikan multikultural memiliki berbagai dampak positif. Pertama, siswa menjadi lebih termotivasi dan terlibat dalam proses pembelajaran. Karena materi yang diajarkan relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka, siswa tidak hanya belajar teori, tetapi juga mengaplikasikannya dalam konteks lokal yang mereka kenal. Hal ini memfasilitasi pemahaman yang lebih mendalam dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis serta pemecahan masalah (Kharismawati, 2023). Kedua, penerapan etnopedagogi berbasis tradisi Nyadran membantu meningkatkan kesadaran siswa tentang pentingnya toleransi dan kerukunan antarumat beragama serta menjaga kelestarian budaya lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H