Mohon tunggu...
hanif sofyan jr
hanif sofyan jr Mohon Tunggu... Freelancer - pegiat literasi

penyuka fotografi dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Film Edge of Darkness dan Law Abiding Citizen Sebuah Protes Pada Ketidakadilan

12 Agustus 2024   17:14 Diperbarui: 11 September 2024   13:14 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hukum / sumber gambar parapuan

Pembalasan seorang ayah dalam film Edge of Darkness, (2010) dan Law Abiding Citizen (2009) adalah sesuatu yang mestinya bisa menjelaskan bahwa keadilan selama ini memang selalu belum mendapatkan tempat yang baik. Dua film yang dirilis dalam kurun waktu yang berdekatan tersebut mengapa memilih "main hakim sendiri", mungkin agar bisa mengingatkan kita agar menjalankan keadilan dengan lebih baik. 

Namun juga menjadi pertanyaan menarik, apakah selama periode tersebut memang banyak kasus yang berakhir seperti itu, ataukah ini adalah akumulasi dari ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah dalam mengurus masalah keadilan?. Yang sering dalam penegakan hukum tumpul ke atas, tajam kebawah dalam mengatasi masalah.

Terlepas dari sekedar sebuah tontonan dengan kekerasan.  Sejatinya, main hakim sendiri sangat dilarang dan bukan solusi yang diperbolehkan.

Secara keseluruhan, kekerasan mewarnai adegan dalam film ini, bahkan cenderung vulgar. Namun, sang sutradara tentu telah memikirkan konsekuensi ini. Maksudnya adalah, ia dengan sengaja mengekspos beberapa kekerasan yang menimpa para "orang jahat atau penjahat" yang dianakemaskan oleh oknum pemerintah, dalam hal ini institusi hukum yang menangani kasus-kasus tersebut.

Sehingga, menghasilkan keputusan yang tidak adil bagi keluarga korban. Seperti dalam kasus film Law Abiding Citizen (2009) dan, Edge of Darkness, sang ayah adalah keluarga korban yang tidak hanya kehilangan istri dan anak, tetapi juga menyaksikan sendiri bagaimana kekejaman para pelaku kejahatan terhadap keluarganya tersebut. Akibatnya, bukan hanya trauma yang terus menguasai pikirannya, tetapi juga perasaan dendam yang tak ada habisnya.

Ilustrasi pernyataan salah seorang tokoh dalam kasus vina cirebon sumber disway
Ilustrasi pernyataan salah seorang tokoh dalam kasus vina cirebon sumber disway

Persoalan Laten

Dalam kenyataannya, banyak kasus dalam kehidupan sehari-hari kita yang kurang lebih sama dengan dua film tersebut. Apalagi jika para pelakunya adalah para pejabat tinggi, orang berpangkat besar, atau bagian dari dinasti kekuasaan yang hegemoniannya kuat.

Beberapa kasus terkini, seperti kekerasan yang dilakukan oleh anak seorang anggota DPR, meskipun telah ada bukti yang memberatkan serta saksi yang berada di tempat kejadian, namun pada akhirnya hakim bisa memutuskan kasus tersebut dengan membebaskan pelaku dari jerat hukum.

Ini hanyalah satu dari sekian banyak kasus lain yang melibatkan kekuasaan dan membuat rasa keadilan kita merasa tertekan dan tidak diakomodasi dengan baik oleh pejabat pembuat kebijakan. 

Termasuk kasus yang masih terus bergulir hingga saat ini, pembunuhan Vina dan Eky yang membuat publik terus merasa penasaran. Apa sebenarnya yang terjadi, mengapa forum yang dibangun oleh para penyidik kasus ini berputar terus pada perdebatan antara pembunuhan dan kecelakaan.

Apakah memang benar institusi hukum kita memang tak memiliki kredibilitas mengatasi sebuah kasus termasuk dalam kaitannya dengan delik hukumnya atau ada sesuatu yang disembunyikan sehingga membuat masalah yang menurut banyak pengamat hukum termasuk dari kepolisian sebenarnya bukan sebuah kasus yang rumit.

Mengapa kepolisian yang telah menjalankan Program Polri presisi dengan dilengkapi sisitem dan kecanggailan alat, hingga saat ini belum bisa menyimpulkan dengan tepat apakah pebunuhan atau kecelakaan.

Mengapa bukti terkiat digital forensik seperti percakapan telepon tidak digunakan secara maksimal untuk menyelesaikan kasus ini. Dan mengapa bukti terkiat kemungkinan adanya kekerasan seksual terhadap korban tidak bisa dideteksi dari bukti yang ada. Sehingga kasusnya seolah menjadi sangat rumit dan bertele-tele solusinya.

Selama ini kita sebagai masyarakat merasa aneh. Misalnya jika memang kepolisian meyakini adanya kemungkinan kekerasan, mengapa justru yang dijadikan alat bukti adalah foto yang menunjukkan kondisi korban saat ditemukan dan dijadikan alasan apakah telah mengalami kekerasan seksual atau tidak.

Mengapa tidak dilanjutkan visum terhadap temuan bukti, dari sana anti bisa dipastikan apa saja temuannya, apakah terdapat jejak perlakuan kekerasan seksual.

Jika ditingkat ini saja telah terjadi masalah seolah sangat rumit dan tidak ada bukti atau hanya didasarkan pada pengakuan dari para pelaku yang menyatakan tidak melakukan, rasanya langkah polisi mengabaikan bukti ini menunjukkan mereka tidak memliki kinerja yang baik dalam menangani sebuah kasus.

Karena biasanya, jika semua keterangan tidak jelas, maka bukti menjadi alternatif yang dipilih pihak kepolisian untuk membongkar masalahnya. Bandingkan jika kepolisian menangani kasus terkait teroris--bahkan hingga keujung duniapun bukti akan dikejar. Tapi kini dalam kasus yang mungkin tak dianggap lebih rumit dari kasus lain yang pernah ada, kepolisian seperti begitu kesulitan mengatasinya.

Dua film tersebut, seperti yang disimpulkan di akhir film Law Abiding Citizen (2009), menunjukkan bahwa ketika Nick yang selama ini diserahi tugas menangani kasus hukum dan telah menyaksikan sendiri berbagai pembalasan yang dilakukan oleh keluarga korban, akhirnya menyadari bahwa institusi dan orang-orang yang terlibat dalam mengatasi hukum di negaranya telah melakukan kesalahan besar. Mereka telah bertindak menyimpang dari keadilan.

Mereka tidak menjalankan amanah sebagai petugas hukum dengan baik, dan menganggap hukum hanya sebagai formalitas pekerjaan, bukan sebagai tugas mulia untuk mencari dan memenuhi keadilan bagi para korban.

Inilah yang sebenarnya juga terjadi di banyak negara, termasuk di negara kita saat ini. Banyak kasus tidak menemukan titik keadilan meskipun masyarakat, dalam hal ini yang menjadi korban, telah berusaha memberikan kepercayaan kepada institusi hukum agar dapat membantu mereka menemukan keadilan. Namun, nyatanya sering kali mereka justru kecewa.

Apakah kita tidak bisa belajar menyerap hikmahnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun