Mohon tunggu...
hanif sofyan jr
hanif sofyan jr Mohon Tunggu... Freelancer - pegiat literasi

penyuka fotografi dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Demokrasi?

16 Februari 2024   16:11 Diperbarui: 20 Juli 2024   00:02 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak seperti tahun-tahun pemilu sebelumnya, tahun ini ada perasaan sedih saat ikut pemilu. Waktu masuk ke TPS, terlihat ramai orang sekampung di lapangan  depan kantor kelurahan yang di jadikan arena. Setelah memarkir motor, dengan gontai saya berpikir, apa masih ada gunanya memilih?.

Setelah menyerahkan undangan, saya masuk di dalam daftar antrian menunggu panggilan. Tiba-tiba seseorang tak dikenal datang, "nanti pilih partai XXX aja, kalau bingung milih siapa", katanya setengah berbisik. 'Jangan pilih yang X ini, dibayar Rp.10 juta pun saya tolak", lanjutnya. Saya cuma tersenyum, setidaknya untuk menghargainya, meskipun dalam hati merasa galau.

Lantas saya bangun, menuju dinding TPS yang ditempeli daftar para caleg. Beberapa partai lokal terlihat kosong untuk kategori caleg DPRK. Di ujung dinding ada tiga pasang capres-cawapres yang selama ini memenuhi layar kaca. 

Melihat ketiganya, teringat bagaimana mereka berdebat di tivi sejak awal. Teringat bagaimana visi misi, gimmick yang dimainkan, medsos yang "mengolah" berita menjadi kampanye.

Baca juga: Invicible Hand

Sebagai penonton saya tak bisa lagi membedakan mana realitas politik dan mana yang politik semu. Semuanya bercampur  tak bisa memberi kejelasan,

suasana TPS di kampung saya, meski mendung tapi semuanya lancar sumber gambar (dokpri hans)
suasana TPS di kampung saya, meski mendung tapi semuanya lancar sumber gambar (dokpri hans)

Apalagi ketika ada selentingan bahwa pemilu memang telah dikondisikan sedemikian rupa, apa persisnya saya tidak tahu. Apakah benar bahwa semuanya telah diatur atau semuanya hanya hoaks.

Barangkali karena itulah maka saya sebagai pemilih hanya bisa merasa pasrah. Jika pilihan kita benar maka negeri kita akan dijalankan paling tidak dengan warna baru. Sebuah Indonesia "baru" seperti ketika kita berharap pada Jokowi, saat terpilih pada 2014 silam.

Tapi jika orang yang terpilih adalah orang yang salah, maka kita harus menghadapinya sebagai ujian. Bahwa negara kita akan dipimpin oleh pemimpin yang "dipilih" oleh rakyat sendiri, jadi harus "diterima" sebagai sebuah realitas.

Meski dipenuhi perasaan galau, saya tetap berharap presiden yang terpilih adalah yang terbaik bagi negeri ini.

"Pak!, silahkan masuk", ujar seorang petugas membangunkan saya dari lamunan, sambil menyebut nama saya. Saya bergegas masuk, menerima lima lembar surat suara yang terlipat, dan langsung duduk di antrian lain di dalam tenda menunggu giliran ke kotak suara.

Lembaran pertama DPRK, meski beberapa orang telah datang ke rumah menitip "pesan", saya memilih calon di nomor paling bawah, setelah melihat partai tapi tak lagi melihat siapa orangnya, meski fotonya tertera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun