Bisa saja Islam tapi kuning, biru, bahkan merah. Sekarang bendera-bendera itu tak lagi penting. Yang hijau royo-royo saja bisa jadi ikut tercebur dalam pemukatan jahat seperti juga yang kuning, biru atau merah.
Karena saya tak bisa menjawab, anak saya bilang, pilih yang sedikit lebih buruknya dari yang paling buruk--tapi sekali lagi clue-nya itu malah membuat saya terpojok dan tambah bingung. Â Karena menentukan mana yang lebih buruk saja itu artinya kita sudah memilih dan dengan segera akan ketahuan jawabannya.
Jadi saya tak bergeming untuk menjawabnya, karena merasa dijebak--jika saya balik bertanya--ia juga tidak akan menjawab, begitu katanya, karena ia hanya ingin tahu--saya dukung siapa--dan mengapa mereka harus didukung.
Ia memerlukan jawaban--untuk menjawab rasa penasaran-karena ia bukan analis politik-tapi kok menakutkan. Menurutnya jika saya menjawab, ia akan memikirkan ulang pilihannya, karena ia ingin punya sudut pandang lain mengenai pilihan-pilihan capresnya. Waduh!
Di waktu yang lain saya memang pernah membuat pancingan--jika paslon nomor urut tiga , kelihatannya lebih fasih berkomunikasi untuk kelas-kelas bawah dengan pendekatan bahasa yang lebih ringan dan populer. Kalau dianalogi dengan jenis tulisan--bentuknya bisa esai atau features--menggunakan pendekatan humanika dalam kosakatanya. Jadi akan lebih bisa diterima kelas-kelas marginal atau kelas bawah.
Sementara yang satunya lagi dengan kepiawaiannya menjelaskan sisi-sisi jauh mencari solusi masalah negara, memang terlihat cerdas, tapi mungkin untuk bisa langsung menyentuh kelas bawah butuh alat penterjemah--seperti artikel ilmiah populer dalam bahasa Inggris dan harus di translate ke Bahasa Indonesia sebelum dipahami dengan lebih mudah pengertiannya--tapi sebenarnya ia memang cerdas!
Pemilih mayoritas adalah masyarakat biasa, menengah bawah--sementara kelas atas dan elite hanya segelintir. Jadi ketika bisa menguasai massa, itu salah satu bekal bisa mendulang suara. Jadi pilihan-pilihan bagaimana mereka tampil di depan publik sedikit banyak juga akan berpengaruh pada bagaimana cita rasanya bisa dinikmati dan akan dipilih oleh publik jika dianggap pas.
Sedangkan yang berusaha menyuguhkan cita rasa rileks, dan berusaha untuk jaim--ternyata malah membingungkan--apakah ia bisa serius menjadi presiden, ataukah justru yang santai tanpa beban politik malah bisa bekerja lebih baik karena tanpa tekanan. Tapi sifat itu kadang-kadang bisa dimaknai lain lagi oleh orang yang banyak prasangka.
Apalagi ketika ia memilih pasangan yang secara politis dianggap lebih punya dukungan--bukan karena besaran partai pengusung, tapi lebih karena potensi politik para backing-nya.
Jadi jawaban pertanyaan yang mudah dari anak saya itu ternyata kompleks--apalagi jika di kaitkan dengan pertanyaan besar; akan dibawa ke mana negara kita di bawah kekuasaannya?
Jadilah Pemilih Cerdas
Sampai detik ini saya belum bisa menjawab pertanyaan anak saya--kamu dukung siapa?. Ia juga masih menunggu, seolah-olah saya sedang memikirkannnya dan berharap setelah kontemplasi akan mendapatkan wangsit dan jawaban terbaiknya.
Jika kita memilih tidak menggunakan hak pilih memang bukan kejahatan, tapi jika nanti yang terpilih bukan favorit kita jangan ribut. Ibarat orang tidak beli nomor undian tapi berharap bisa menang!
Banyak yang bisa dijadikan rujukan untuk membantu kita berpikir--media mainstream, media sosial, media asing, jika ada yang menganggap lebih netral. Bahkan media debat kusir di warkop bisa membantu kita mendapatkan sisi-sisi yang terkadang justru lebih kritis.
Mungkin ada baiknya saya bawa pertanyaan itu ke forum debat kusir di warkop langganan--penasaran sekedar mau tahu, siapa pilihan mereka. Jadi kamu pilih siapa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H