Pertanyyan itu ternyata menjadi pertanyaan yang sulit, baik dalam bentuk essay atau pilihan ganda. Kemarin anak saya menanyakan pertanyaan gampang itu seusai melihat sesi tayangan youtube--yang menghadirkan salah satu capres. Entah mengapa saya bingung menjawabnya. Saya sampai berpikir jika anak saya yang lebih banyak nonton youtube politik itu barangkali lebih kritis mikirnya daripada saya. Dan saya jadi penasaran siapa pilihan menurutnya dan mengapa?.Â
Tapi anak saya berkilah, jawab dulu pertanyaannya baru ia membuka rahasia pilihannya. Waduh!.
Tapi kemudian ia mematahkan sendiri pertahanannya. Paling tidak sudah berusaha mengajak secara persuasif bukannya memaksa, agar paslon pilihan bisa menang, daripada disimpan sendiri tak mendapat dukungan.Â
Tapi saya tetap berusaha menjawab diplomatis, (seperti biasa dilakukan para elit politik), masih harus melihat sikon dulu, karena  masih berproses dan mungkin ada kejutan yang bisa menjadi alasan bagi saya untuk memutuskan pilihan.
Ada Ganjar, tapi ada Mahfud MD-nya, ada Anies tapi malah ada Muhaiminnya, eh satunya lagi sudah ada Prabowo malah bawa-bawa Gibran, semua pilihan yang mulai mengerucut jadi buyar. Masing-masing pilihan ada titik lemahnya secara mata awam sebagai pemilih kacangan yang gatek politik.
Jadi terbayang, bagaimana jika yang melihat adalah masyarakat awam dan buta politik?. Atau sebaliknya justru akan lebih mudah. Orang yang tanpa beban karena tidak dibebani dengan muatan politik, akan berpikir lebih sederhana--berpikir pragmatis.
Siapa yang terlihat baik, pintar bicara, dan tidak terlihat formal barangkali akan bisa lebih mudah dipilih. Tapi yang tampak pintar karena kalem juga bisa mewakili pesona calon presiden. Atau kalau mau lebih rileks dan santai mau pilih yang suka berjoget juga tidak mengapa.
SEBAIKNYA KALIAN TAHU!
Pemilihan Umum Presiden Indonesia 2024, disebut juga Pilpres 2024, adalah pemilihan umum kelima di Indonesia yang bertujuan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Direncanakan akan dilaksanakan pada, Rabu, 14 Februari 2024 mendatang.
Jawabanmu Masa Depan  negaramu
Memang sulit memprediksi bagaimana sebenarnya masing-masing paslon itu akan membawa Indonesia ke depan, jika melalui kata-katanya saja--sulit dipegang seperti belut. Hanya sayangnya jawara yang naik ke RI 1 dan RI 2 cuma satu paslon, jadi mau tidak mau kita harus menganalisis sebisanya, mencari kabar kanan-kiri untuk memastikannya sebelum memilih jawaban--kamu dukung siapa.
Sekali lagi pertanyaan itu tiba-tiba menjadi begitu sulit dijawab, karena ternyata jawaban itu --kata orang seperti dalamnya laut--sulit ditebak!.
Polarisasi antar paslon dan pendukungnya, maraknya pemberitaan di media yang bercampur hoaks, eskalasi politik yang makin cepat iramanya ternyata membuat kita makin sulit menentukan pilihan. Apalagi sejak lama saya tak mengikut salah satu jenis parpol apapun ideologinya.
Kata orang yang anti politik identitas, sekarang sudah bukan jamannya lagi identitas dijadikan ukuran-- seperti jargon lama--Islam Yes, partai Islam No--bahwa artinya, identitas partai tak bisa dijadikan ukuran mewakili entitas atau ekosistem tertentu.
Bisa saja Islam tapi kuning, biru, bahkan merah. Sekarang bendera-bendera itu tak lagi penting. Yang hijau royo-royo saja bisa jadi ikut tercebur dalam pemukatan jahat seperti juga yang kuning, biru atau merah.
Karena saya tak bisa menjawab, anak saya bilang, pilih yang sedikit lebih buruknya dari yang paling buruk--tapi sekali lagi clue-nya itu malah membuat saya terpojok dan tambah bingung. Â Karena menentukan mana yang lebih buruk saja itu artinya kita sudah memilih dan dengan segera akan ketahuan jawabannya.
Jadi saya tak bergeming untuk menjawabnya, karena merasa dijebak--jika saya balik bertanya--ia juga tidak akan menjawab, begitu katanya, karena ia hanya ingin tahu--saya dukung siapa--dan mengapa mereka harus didukung.
Ia memerlukan jawaban--untuk menjawab rasa penasaran-karena ia bukan analis politik-tapi kok menakutkan. Menurutnya jika saya menjawab, ia akan memikirkan ulang pilihannya, karena ia ingin punya sudut pandang lain mengenai pilihan-pilihan capresnya. Waduh!
Di waktu yang lain saya memang pernah membuat pancingan--jika paslon nomor urut tiga , kelihatannya lebih fasih berkomunikasi untuk kelas-kelas bawah dengan pendekatan bahasa yang lebih ringan dan populer. Kalau dianalogi dengan jenis tulisan--bentuknya bisa esai atau features--menggunakan pendekatan humanika dalam kosakatanya. Jadi akan lebih bisa diterima kelas-kelas marginal atau kelas bawah.
Sementara yang satunya lagi dengan kepiawaiannya menjelaskan sisi-sisi jauh mencari solusi masalah negara, memang terlihat cerdas, tapi mungkin untuk bisa langsung menyentuh kelas bawah butuh alat penterjemah--seperti artikel ilmiah populer dalam bahasa Inggris dan harus di translate ke Bahasa Indonesia sebelum dipahami dengan lebih mudah pengertiannya--tapi sebenarnya ia memang cerdas!
Pemilih mayoritas adalah masyarakat biasa, menengah bawah--sementara kelas atas dan elite hanya segelintir. Jadi ketika bisa menguasai massa, itu salah satu bekal bisa mendulang suara. Jadi pilihan-pilihan bagaimana mereka tampil di depan publik sedikit banyak juga akan berpengaruh pada bagaimana cita rasanya bisa dinikmati dan akan dipilih oleh publik jika dianggap pas.
Sedangkan yang berusaha menyuguhkan cita rasa rileks, dan berusaha untuk jaim--ternyata malah membingungkan--apakah ia bisa serius menjadi presiden, ataukah justru yang santai tanpa beban politik malah bisa bekerja lebih baik karena tanpa tekanan. Tapi sifat itu kadang-kadang bisa dimaknai lain lagi oleh orang yang banyak prasangka.
Apalagi ketika ia memilih pasangan yang secara politis dianggap lebih punya dukungan--bukan karena besaran partai pengusung, tapi lebih karena potensi politik para backing-nya.
Jadi jawaban pertanyaan yang mudah dari anak saya itu ternyata kompleks--apalagi jika di kaitkan dengan pertanyaan besar; akan dibawa ke mana negara kita di bawah kekuasaannya?
Jadilah Pemilih Cerdas
Sampai detik ini saya belum bisa menjawab pertanyaan anak saya--kamu dukung siapa?. Ia juga masih menunggu, seolah-olah saya sedang memikirkannnya dan berharap setelah kontemplasi akan mendapatkan wangsit dan jawaban terbaiknya.
Jika kita memilih tidak menggunakan hak pilih memang bukan kejahatan, tapi jika nanti yang terpilih bukan favorit kita jangan ribut. Ibarat orang tidak beli nomor undian tapi berharap bisa menang!
Banyak yang bisa dijadikan rujukan untuk membantu kita berpikir--media mainstream, media sosial, media asing, jika ada yang menganggap lebih netral. Bahkan media debat kusir di warkop bisa membantu kita mendapatkan sisi-sisi yang terkadang justru lebih kritis.
Mungkin ada baiknya saya bawa pertanyaan itu ke forum debat kusir di warkop langganan--penasaran sekedar mau tahu, siapa pilihan mereka. Jadi kamu pilih siapa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H