Mohon tunggu...
hanif sofyan jr
hanif sofyan jr Mohon Tunggu... Freelancer - pegiat literasi

penyuka fotografi dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Klientelisme dan Jual Beli "Suara" Saat Pemilu

9 Desember 2023   09:56 Diperbarui: 20 Juli 2024   00:03 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
money politic- sumber gambar antaranews.com

Ada yang menarik dari hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada awal tahun 2023. Jajak pendapat itu  menemukan fakta bahwa 36,5 persen dari 506 orang responden secara nasional yang dijadikan rujukan mengaku pernah menerima uang atau melihat orang lain menerima uang dari para konstituen peserta pemilihan umum. Berarti 3 dari setiap 10 orang Indonesia yang pernah ikut pemilu, pernah terlibat dalam transaksi politik uang.

Rasanya praktik politik uang atau klientelisme memang masih menjadi parasit yang menggerogoti kehidupan berpolitik dan berdemokrasi di Indonesia sampai saat ini. Buktinya KPK dalam Bus Roadshownya kemarin juga menyoroti soal ini. Istilah "Serangan Fajar" yang mengacu pada pemberian uang ilegal dari para peserta pemilu kepad para calon pemilih pada pagi hari menjelang waktu pemilihan menjadi sesuatu yang tak bisa hilang.

Caranya ada yang terang-terangan, namun ada yang secara sembunyi-semunyi. Masing-masing calon menggunakan cara rahasia agar tak diketahui calon lain agar tak dianggap curang.

pemilih dalam sebuah pemilu beserta surat suara sumber gambar kompas.id
pemilih dalam sebuah pemilu beserta surat suara sumber gambar kompas.id

Statistik Angka yang Mengkuatirkan

Munculnya jumlah calon pemilih yang sudah pernah berurusan dengan uang ilegal pemilu itu cukup mengkhawatirkan, apalagi jika tidak ada tindakan atau pelaporan kasus. Apalagi menjelang Pemilu 2024. Sayangnya, pemahaman masyarakat dan para aktor politik terkait persoalan klientelisme di Indonesia masih belum sepenuhnya utuh, sehingga segala upaya pencegahan yang sudah dilakukan, melalui sosialisasi dan kampanye anti politik uang yang umumnya dilakukan oleh Bawaslu, belum benar-benar membuahkan hasil.

Kebanyakan kasus temuan tentang politik uang masih berkutat pada perilaku vote-buying (menawarkan uang untuk membeli suara), sedangkan yang menyasar aspek psikologis yang mendorong perilaku vote-selling (menerima uang untuk menjual suara) masih sangat terbatas.

Padahal kedua aktor tersebut memberi kontribusi yang sama-sama signifikan dalam menciptakan praktik klientelisme. Politik uang tidak akan mungkin terjadi jika tidak ada masyarakat yang ingin menerima uang, sekali pun ada politikus yang menawarkan. Bukan faktor kesadaran warga calon pemilih saja yang harus digugah, bagaimanapun selama persoalan ekonomi masih jadi masalah, politik uang akan tetap mendapatkan tempatnya dalam masyarakat.

Namun aturan ketat kepada konstituen pemilunya yang harus diperketat, melalui mekanisme pelaporan yang memungkin bisa mengungkap praktek kecurangan yang terjadi. Mungkin disertai dengan reward tertentu yang positif bisa mengungkap praktek buruk politik uang tersebut.

Berbagai faktor lain selain ekonomi diduga juga ikut menjadi pemicu kemunculan serangan fajar saat pemilu berlangsung dalam setiap periode yang ada.  Namun ada hal yang menarik berdasarkan kajian yang dilakukan oleh  dalam bukunya "Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru", akademisi ilmu politik Burhanuddin Muhtadi, menjelaskan secara gamblang bahwa faktor yang mendukung selalu berjalannya praktek curang serangan fajar tidak selalu berkaitan dengan pendapatan, status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan. Bahkan tidak berpengaruh secara signifikan dalam mendorong seseorang untuk terlibat dalam transaksi klientelisme.

Penyebab utamanya justru karena adanya normalisasi yang dilakukan masyarakat terhadap praktik tersebut. Ini membuat mereka jadi permisif. Seperti perilaku yang menjadi kebiasaan yang rutin pada akhirnya bisa menjadi seperti tradisi yang umum dan biasa. Itulah yang terjadi dalam praktik kecurangan politik uang.

Selain itu, masih banyak komunitas masyarakat yang memandang tindakan klientelisme sebagai gestur kebaikan hati, bahkan dikait-kaitkan dengan sedekah dari sisi agama. Sehingga membuat praktik ini sebagai tindakan yang baik dan bentuk kepedulian calon kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan. Sehingga yang belum meyakini sepenuhnya tindkan ini sebagai praktik baik atau buruk, menggunakan cara " terima uangnya, buang amplopnya". 

Dengan bentuk tindkan itu, para pengirim amplop serangan fajar justru nantinya akan dikucilkan akrena sudah jelas dianggap sebagai pelaku yang curang. Toh saat mereka memilih bersifat rahasia dan tidak dapat dideteksi.

Namun pernah terjadi hal yang aneh, ketika syarat pemberian aung serangan fajar itu harus disertai bukti bahwa mereka memeilihnya, dengan menyelinapkan gadget merekamnya. Dan demi uang praktik ini sebagiannya berhasil.

pemilih di bilik suara sumber gambar detiknews.com
pemilih di bilik suara sumber gambar detiknews.com

Bermain Dengan Risiko

Studi lain berkaitan dengan perilaku vote-selling yang dilakukan oleh Rizka Halida, seorang pakar psikologi sosial asal Universitas Indonesia, pada tahun 2022 menemukan bahwa jumlah nominal uang yang ditawarkan dapat memengaruhi keputusan vote-seller untuk menerima uang atau tidak. Namun, hal ini hanya berlaku jika vote-seller memiliki inhibitory self-control yang rendah. Inhibitory self-control bisa diartikan sebagai kemampuan untuk menahan hasrat untuk melakukan perilaku-perilaku impulsif yang berisiko, membahayakan atau melanggar aturan.

Ketika seseorang memiliki inhibitory self-control yang tinggi, ia akan mampu memproses pilihannya berdasarkan dari kesepakatan besaran  uang yang akan diterimanya.. Kasusnya kurang lebih menjadi  sama seeprti sebuah transaksi yang ilegal dan tidak etis. Demi kemenangan sebagian peserta pemilu rela melakukan tindakan ini akrena lebih menjanjikan ari soal kepastian jumlah suara yang akan diterimanya. Namun ia harus berhitung keras soal sediaan dana yang harus digelontorkan.

Perilaku ini menjadikan pemilu ibarat sebuah "rintisan bisnis", mengeluarkan modal besar di awal dan akan menutupinya dari penerimaan jika ia berhasil menang nantinya.  Maka dalam banyak kasus, jika tidak menang, pilihannya antara Rumah Sakit Jiwa dan rentenir liar siap mengambil barang agunan yang dijadikan jaminan.

Faktor psikologis lain yang bisa memengaruhi keputusan vote-seller untuk menerima uang dari vote-buyer adalah sesuatu yang disebut "bias rabun jauh" (present bias). Sebuah konsep yang populer dalam bidang ilmu perilaku dan psikologi sosial.

Bias rabun jauh merupakan kecenderungan alami manusia untuk lebih memilih hadiah (reward) yang bisa diperoleh saat ini, walaupun nilainya kecil, ketimbang hadiah yang lebih besar tapi hanya bisa diperoleh di masa depan. 

Contoh dari jenis bias ini, seperti ketika kita merasa lebih senang membelanjakan gaji yang baru saja kita terima untuk membeli gadget baru, ketimbang menabung untuk keperluan masa depan yang baru di masa depan bisa dinikmati.

Perilaku ini menyebabkan orang rentan untuk tergiur iming-iming atau tawaran uang tidak peduli halal atau haram.  Dan bersedia menjual suaranya dengan orang yang telah membayarnya. Mereka mengabaikan kepentingannya untuk memperoleh pemerintahan yang bersih serta kebijakan-kebijakan yang adil dan mensejahterakan di masa mendatang.

Bias ini memungkinkan masyarakat menderita semacam "miopi politik" (rabun jauh dalam politik) yang menyebabkan mereka gagal melihat lebih jauh ke depan dan cenderung mengambil keputusan politik dengan visibilitas jangka pendek.

Menghindari Politik Uang 

Sebagaimana kajian Burhanuddin Muhtadi, bahwa bukan faktor pendidikan, latar belakang ekonomi yang utama menjadi alasan orang melakukan tindakan menerima politik uang, sehingga pembelajaran tentang literasi politik pada masyarakat harus menjadi strategi yang harus terus dilakukan untuk memupus praktik politik uang agar tidak berulang.

Model pendidikan literasi politik diharapkan secara perlahan menumbuhkan kembali kesadaran dan integritas politik masyarakat agar menyadari bahwa perilaku praktik politik uang itu berkaitan juga dengan kemungkinan perbaikan nasib negara di masa mendatang. Sehingga pilihan-pilihan manusia yang akan mengelola negara nantinya patut menjadi pertimbangan.  Dan pada akhirnya akan meningkatkan inhibitory self-control pada masyarakat.

Dalam sebuah artikel The Conversation Indonesia dijelaskan bahwa untuk melakukan pembuktian tersebut, Allen Hicken, seorang profesor ilmu politik dari University of Michigan, di Filipina melakukan sebuah studi eksperimen pada 2013 silam, dengan menciptakan sebuah strategi yang efektif dalam mendorong masyarakat menghindari perilaku vote-selling.

Eksperimen dilakukan terhadap 900 orang pemilih yang dibagi ke dalam tiga kelompok secara acak: (1) kelompok yang diminta untuk menyaksikan video pendek berisi ajakan untuk berpartisipasi dalam pemilu kemudian diminta berjanji tidak akan menerima uang untuk menjual suaranya; (2) kelompok yang diminta untuk menyaksikan video pendek kemudian diminta untuk memilih dengan hati nurani sekali pun tetap menerima uang; dan (3) kelompok yang hanya diminta untuk menyaksikan video.

Hasil eksperimennya sangat menarik, karena menunjukkan adanya dampak penurunan potensi terjadinya perilaku vote-selling sebesar 11% pada responden dalam kelompok pertama. Temuan ini dapat menjadi inspirasi bahwa intervensi sederhana (seperti meminta pemilih berjanji untuk tidak menjual suara mereka dalam pemilu) dapat diterapkan sebagai strategi untuk mengurangi perilaku vote-selling dalam pemilu di Indonesia.

Berdasarkan eksperimen tersebut dapat dijadikan semacam pilot project atas model kampanye yang dapat kita lakukan untuk membangu kembali kesadaran masyarakat dalam memahami betapa buruknya praktik uang, terhadap masa depan negara. Terhadap kebijakan-kebijakan yang nantinya akan diterapkan di daerah mereka dan akan berdampak penting bagi kehidupan masyarakat.

Dengan memahami hal tersebut  masyarakat akan paham bahwa perilaku buruk para calon pemimpin akan berdampak buruk pada kehiduapan mereka secara menyeluruh. Inilah inti penting dari bagaimana kita membangun kesadaran masyarakat. Sedangkan para konstituen sebagai pelaku, pada dasarnya mereka memang manusia bebal, tak diajari pun mereka memang sudah berniat jahat sejak awal.

Jadi berperilakulah semakin cerdas politik, dengan memilih calon pemimpin yang baik dan jujur untuk menentukan masa depan negara kita sendiri.


Referensi Artikel ; 1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun