Mohon tunggu...
hanif sofyan jr
hanif sofyan jr Mohon Tunggu... Freelancer - pegiat literasi

penyuka fotografi dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Klientelisme dan Jual Beli "Suara" Saat Pemilu

9 Desember 2023   09:56 Diperbarui: 20 Juli 2024   00:03 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pemilih dalam sebuah pemilu beserta surat suara sumber gambar kompas.id

pemilih di bilik suara sumber gambar detiknews.com
pemilih di bilik suara sumber gambar detiknews.com

Bermain Dengan Risiko

Studi lain berkaitan dengan perilaku vote-selling yang dilakukan oleh Rizka Halida, seorang pakar psikologi sosial asal Universitas Indonesia, pada tahun 2022 menemukan bahwa jumlah nominal uang yang ditawarkan dapat memengaruhi keputusan vote-seller untuk menerima uang atau tidak. Namun, hal ini hanya berlaku jika vote-seller memiliki inhibitory self-control yang rendah. Inhibitory self-control bisa diartikan sebagai kemampuan untuk menahan hasrat untuk melakukan perilaku-perilaku impulsif yang berisiko, membahayakan atau melanggar aturan.

Ketika seseorang memiliki inhibitory self-control yang tinggi, ia akan mampu memproses pilihannya berdasarkan dari kesepakatan besaran  uang yang akan diterimanya.. Kasusnya kurang lebih menjadi  sama seeprti sebuah transaksi yang ilegal dan tidak etis. Demi kemenangan sebagian peserta pemilu rela melakukan tindakan ini akrena lebih menjanjikan ari soal kepastian jumlah suara yang akan diterimanya. Namun ia harus berhitung keras soal sediaan dana yang harus digelontorkan.

Perilaku ini menjadikan pemilu ibarat sebuah "rintisan bisnis", mengeluarkan modal besar di awal dan akan menutupinya dari penerimaan jika ia berhasil menang nantinya.  Maka dalam banyak kasus, jika tidak menang, pilihannya antara Rumah Sakit Jiwa dan rentenir liar siap mengambil barang agunan yang dijadikan jaminan.

Faktor psikologis lain yang bisa memengaruhi keputusan vote-seller untuk menerima uang dari vote-buyer adalah sesuatu yang disebut "bias rabun jauh" (present bias). Sebuah konsep yang populer dalam bidang ilmu perilaku dan psikologi sosial.

Bias rabun jauh merupakan kecenderungan alami manusia untuk lebih memilih hadiah (reward) yang bisa diperoleh saat ini, walaupun nilainya kecil, ketimbang hadiah yang lebih besar tapi hanya bisa diperoleh di masa depan. 

Contoh dari jenis bias ini, seperti ketika kita merasa lebih senang membelanjakan gaji yang baru saja kita terima untuk membeli gadget baru, ketimbang menabung untuk keperluan masa depan yang baru di masa depan bisa dinikmati.

Perilaku ini menyebabkan orang rentan untuk tergiur iming-iming atau tawaran uang tidak peduli halal atau haram.  Dan bersedia menjual suaranya dengan orang yang telah membayarnya. Mereka mengabaikan kepentingannya untuk memperoleh pemerintahan yang bersih serta kebijakan-kebijakan yang adil dan mensejahterakan di masa mendatang.

Bias ini memungkinkan masyarakat menderita semacam "miopi politik" (rabun jauh dalam politik) yang menyebabkan mereka gagal melihat lebih jauh ke depan dan cenderung mengambil keputusan politik dengan visibilitas jangka pendek.

Menghindari Politik Uang 

Sebagaimana kajian Burhanuddin Muhtadi, bahwa bukan faktor pendidikan, latar belakang ekonomi yang utama menjadi alasan orang melakukan tindakan menerima politik uang, sehingga pembelajaran tentang literasi politik pada masyarakat harus menjadi strategi yang harus terus dilakukan untuk memupus praktik politik uang agar tidak berulang.

Model pendidikan literasi politik diharapkan secara perlahan menumbuhkan kembali kesadaran dan integritas politik masyarakat agar menyadari bahwa perilaku praktik politik uang itu berkaitan juga dengan kemungkinan perbaikan nasib negara di masa mendatang. Sehingga pilihan-pilihan manusia yang akan mengelola negara nantinya patut menjadi pertimbangan.  Dan pada akhirnya akan meningkatkan inhibitory self-control pada masyarakat.

Dalam sebuah artikel The Conversation Indonesia dijelaskan bahwa untuk melakukan pembuktian tersebut, Allen Hicken, seorang profesor ilmu politik dari University of Michigan, di Filipina melakukan sebuah studi eksperimen pada 2013 silam, dengan menciptakan sebuah strategi yang efektif dalam mendorong masyarakat menghindari perilaku vote-selling.

Eksperimen dilakukan terhadap 900 orang pemilih yang dibagi ke dalam tiga kelompok secara acak: (1) kelompok yang diminta untuk menyaksikan video pendek berisi ajakan untuk berpartisipasi dalam pemilu kemudian diminta berjanji tidak akan menerima uang untuk menjual suaranya; (2) kelompok yang diminta untuk menyaksikan video pendek kemudian diminta untuk memilih dengan hati nurani sekali pun tetap menerima uang; dan (3) kelompok yang hanya diminta untuk menyaksikan video.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun