Putusan-putusan MK itu menjadi catatan menarik, (landmark decisions) bagian dari rangkai sejarah kerja-kerja luar biasa MK, melindungi hak konstitusional (constitutional rights) dan hak asasi manusia (human rights) yang sangat penting bagi tumbuh dan tegaknya demokrasi.
Pertama, Mengembalikan Hak-Hak Politik bagi Mantan Anggota PKI
Dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 bertanggal 24 Februari 2004, MK membatalkan Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPR, yang berbunyi, "bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya".
Alasan utamanya, MK menilai bahwa ketentuan tersebut merupakan pengingkaran terhadap hak asasi warga negara atau diskriminasi atas dasar keyakinan politik, sebagai esensi yang dijamin oleh Pasal 27 dan Pasal 28D Ayat (1), Ayat (3), serta Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.Â
Tak boleh ada diskriminasi atas nama SARA, etnik, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Sesuai pula dengan Article 21 Universal Declration of Human Rights (UDHR) dan Article 23 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Kedua, Menghapus Ketentuan Penghinaan terhadap Kepala NegaraÂ
MK mengeluarkan Putusan Nomor 013- 022/PUU-IV/2006 bertanggal 6 Desember 2006, setelah debat yang tajam di dalam ruang persidangan dan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dengan perbedaan tipis 5:4 untuk membatalkan Pasal 134, Pasal 136 Bis, dan Pasal 137 KUHP yang terkait dengan ketentuan pidana atas penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden.
Paska amandemen ketiga UUD 1945, konsep kedaulatan (sovereignty) telah berpindah dari parlemen kepada rakyat. Dan, karena Presiden dan Wakil Presiden juga dipilih langsung oleh rakyat, maka harus bertanggung jawab kepada rakyat.Â
Keduanya tidak bisa diberikan privilege hukum secara diskriminatif berbeda di hadapan hukum dengan warga negara lainnya. Jika terjadi dianggap secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945
Ketiga, Â Mencabut Pasal Penebar Kebencian kepada Pemerintah
Pada tanggal 17 Juli 2007, MK mencabut Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP terkait dengan ketentuan pidana apabila seseorang menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan Pemerintahan, karena bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 28E Ayat (2) serta Ayat (3) UUD 1945. Keputusan yang disepakati seluruh Hakim Konstitusi.
Pertimbangan hukum utamanya, pertama, rumusan kedua pasal pidana tersebut menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan menurut selera penguasa karena kualifikasi tindak pidananya adalah delik formil yang cukup hanya mempersyaratkan terpenuhinya unsur adanya perbuatan yang dilarang (strafbare handeling) tanpa mengaitkan dengan akibat dari suatu perbuatan.Â