Laut Natuna Utara dan Agresivitas CinaÂ
Laut Natuna Utara, merupakan kawasan perairan Indonesia yang terletak di kabupaten Natuna serta berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan. Kawasan maritim ini masih menjadi bagian dari ZEE Indonesia, sesuai dengan ketentuan dalam UNCLOS 1982. Indonesia memiliki hak berdaulat sekaligus yurisdiksi di wilayah perairan ini.Â
Memanasnya tensi wilayah Laut Natuna Utara, mulanya terjadi akibat banyaknya kasus illegal fishing yang dilakukan oleh berbagai nelayan asing di wilayah ZEE Indonesia, termasuk nelayan yang berasal dari negeri tirai bambu. Namun masalah yang lebih besar muncul, ketika kapal milik Coast guard Cina, justru melakukan 'pengawalan' terhadap kapal-kapal nelayan mereka yang melakukan aktivitas pencurian ikan tersebut, Otoritas Cina bahkan sampai melayangkan protes ketika kapal-kapal nelayan dari negara mereka diamankan oleh TNI-AL.
Singgungan antara TNI-AL dan Coast Guard Cina, memaksa kehadiran Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, untuk berkunjung ke Natuna dan melakukan rapat terbatas di atas kapal KRI - Imam Bonjol (383) pada periode 2016. Langkah ini dimaksudkan guna mengirimkan pesan kepada Cina, bahwa Jakarta tidak main-main dengan kedaulatannya.Â
Sayangnya kehadiran Presiden RI ke wilayah Natuna tidaklah cukup untuk menahan agresivitas Cina. Sejak 2021, kapal-kapal milik Cina dari mulai kapal Frigate milik Angkatan Laut, kapal Coast Guard sampai dengan kapal survei Haiyang Dizhi 10 dari Cina masih terus hadir di wilayah perairan Natuna dan ZEE Indonesia.
Tidak hanya terus-menerus memperkuat "eksistensi" mereka di LCS dengan kapal-kapalnya, Cina juga disinyalir telah melakukan aktivitas survei maritim secara ilegal serta bertentangan dengan hukum laut UNCLOS 1982. Menurut data Asia Maritime Initiative (AMTI) selama periode 2020-2021, Cina mengerahkan 4 kapal survei yang aktif berkeliling ke seluruh wilayah LCS serta wilayah ZEE sejumlah negara seperti Vietnam, Malaysia, Brunei hingga Indonesia.Â
Kegiatan survei tanpa izin oleh kapal-kapal milik Cina ini disebut sebagai respons negara tersebut terhadap beragam upaya eksplorasi sumber daya minyak dan gas yang dilakukan oleh sejumlah Asia Tenggara, di wilayah yang tumpang tindih dengan klaim 9DL Cina. Â
Pada tahun 2021, Cina melayangkan permintaan kepada Indonesia untuk menghentikan aktivitas pengeboran minyak dan gas yang dilakukan di blok Natuna. Cina berpendapat bahwa aktivitas pengeboran sumber daya alam yang dilakukan Indonesia berada di wilayah teritori Cina di LCS.
Cina juga dicurigai melakukan pemetaan dan eksplorasi geografi bawah laut di wilayah Indonesia dengan menggunakan kendaraan bawah laut tak berawak (Unmanned Underwater Vehicle/UUV) atau dikenal sebagai seaglider. Dugaan ini diperkuat oleh penemuan UUV di bulan Desember 2020 Â Kala itu, Â seorang nelayan menemukan Seaglider yang diduga milik Cina di sekitar perairan Selayar, Sulawesi Selatan. Seaglider temuan tersebut kemudian diserahkan kepada TNI-AL dan kedapatan dilengkapi oleh sejumlah kamera dan sensor.Â