Sebagai anak yang terlahir dari keluarga sederhana, saya sadar betul akan kondisi orang tua saya dan tidak mengharapkan harta apa apapun dari mereka. Pun tempat tinggal, saya bertekad kalau diberikan rezeki, saya ingin memiliki rumah hasil kristalisasi keringat saya sendiri. Makanya ketika saya sudah bekerja saya menabung untuk uang muka rumah untuk saya tinggali nanti ketika sudah menikah.Â
Beruntung saya memiliki orang tua yang  sangat mendukung  keinginan saya tersebut. Dan seperti berjodoh, Saat itu saya dimudahkan dalam mengambil KPR bersubsidi di Bekasi, dekat dengan orang tua saya. Mengapa saya mengambil KPR, karena ibu saya berpesan, bila sudah menikah jangan tinggal dengan orang tua atau mertua.Â
Singkat cerita, saya berpacaran dengan salah satu lelaki yang mendukung keinginan saya dalam memiliki rumah, makanya ketika saya minta ia untuk ikut andil dalam cicilannya, ia setuju saja. Â
Setelah berpacaran selama empat tahun, Â menikahlah saya dengannya. Sambil menunggu rumah kami di renovasi (karena akan kami tempati) saya tinggal sementara dirumah ibu saya. kurang lebih saya tinggal di rumah ibu selama dua minggu, minggu berikutnya di rumah mertua.Â
Karena saya dan suami saya bekerja, bapaklah yang setia memantau pekerjaan para tukang. Walaupun jarak rumah bapak dan rumah kami lumayan jauh. Â Saking bapak dan ibu yang rajin menyambangi rumah, tetangga perumahan justru lebih kenal bapak dan ibu ketimbang saya dan suami.
Tepat sebulan renovasi pembangunan rumah, akhirnya saya dan suami berniat pindah. Seperti kebanyakan orang pindahan pada umumnya, tentu saya mengajak para tetangga untuk ikut mendoakan kami agar kami betah di rumah baru kami.Â
Saat itu kami mengundang tetangga dan teman masa kecil saya, sedangkan suami mengundang tetangga dan kerabat terdekat yang jumlahnya lumayan banyak. Kebanyakan dari mereka bilang ikut bangga, kami yang  baru menikah sudah memiliki rumah (walaupun masih menyicil, hehehe)Â
Dari banyaknya yang tamu yang datang  dan mendoakan kami, saat itu saya melihat bapak mertua saya mondar-mandir berkeliling rumah, sepertinya ada yang sedang bapak mertua saya pikirkan.
"Kenapa, Beh?". Tanya saya pada mertua saya. Kami memanggilnya Abeh, karena memang asli betawi. Ibunya merupakan keturunan habib.Â
"Nama daerahnya apa sih ini, Eni?". Â Mertua saya bertanya balik.