Mohon tunggu...
Ahmad Hanif Firdaus
Ahmad Hanif Firdaus Mohon Tunggu... Aktris - Penulis musiman

Murid dari banyak guru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memaknai Kembali Hari Pendidikan, Menafsir Ulang Pesan yang Berserakan

2 Mei 2020   12:05 Diperbarui: 2 Mei 2020   12:16 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prolog

"Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan."
(Tan Malaka)

Tepat hari ini, tanggal 2 Mei, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional di seluruh pelosok negeri bahkan gaungnya sampai pula ke mancanegara. Sejenak menengok sejarah, Hari Pendidikan Nasional tak akan lepas dari sosok Pahlawan Nasional yang digelari sebagai Bapak Pendidikan, dia lah Ki Hajar Dewantara. Tanggal 2 Mei adalah hari lahir sosok patriotik tersebut, tepatnya pada 2 Mei 1889. Tanggal  yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional seperti yang akhirnya kita peringati hari ini.

Ki Hajar Dewantara adalah seorang priyayi pada masanya, walau demikian tidak lantas membuatnya "melangit" dan jauh dari rakyat jelata. 

Keberpihakannya pada kaum lemah ditunjukkan dengan kritikan kerasnya kepada pemerintah kolonial Belanda yang hanya memberi kesempatan anak-anak keturunan Belanda dan golongan priyayi serta orang kaya yang boleh sekolah, kritikan yang pada akhirnya membuatnya diasingkan ke Belanda. 

Namun bukan ki Hajar Dewantara namanya kalau menyerah, sekembalinya dari pengasingan Beliau mendirikan lembaga pendidikan yang kemudian diberi nama "Taman Siswa". Walau ada opini yang menyebutkan Taman Siswa bercorak barat dan kebatinan namun harus diakui kehadirannya saat itu memberi pengaruh yang luas terutama di bidang pendidikan.

Sesungguhnya ada satu tokoh lagi yang tak boleh dilupakan ketika kita berbicara tentang Pendidikan. Beliau adalah pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan yang juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Tidak banyak yang mengetahui bahwa selain seorang ulama' K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang pendidik dan sangat concern dengan Pendidikan. 

Sekolah Muhammadiyah yang pertama kali beliau dirikan bahkan jauh lebih tua usianya dari Taman Siswa Ki Hajar Dewantara (Sekolah Muhammadiyah pertama berdiri 1911  sedang Taman Siswa tahun 1922). Sekolah Islam "modern" pertama dan satu-satunya di Indonesia saat itu, disebut modern  karena mengadopsi sistem pendidikan Belanda (Barat) dan mengajarkan ilmu agama sekaligus ilmu umum untuk para siswanya. 

Dan kini, hingga usia Muhammadiyah yang lebih dari 1 abad Amal Usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan telah berkembang menjadi puluhan ribu jumlahnya dan masih akan terus bertambah, tersebar di seluruh Indonesia bahkan telah ada di mancanegara seperti di Mesir dan Malaysia.

Membincang pendidikan berarti juga membincang tentang peradaban. Berbicara tentang pendidikan sejatinya juga sedang berbicara tentang keabadian. Bukankah telah banyak kisah sampai kepada kita tentang begitu adidaya nya pendidikan sebagai solusi dari setiap permasalahan.

Kebangkitan Jepang pasca bom atom Hiroshima dan Nagasaki adalah buah dari pendidikan. Kemajuan Korea Selatan dalam beberapa tahun terakhir adalah karena pendidikan. 

Pemerintah Korea selatan berinvestasi besar-besaran dengan banyak menyekolahkan anak-anak mudanya ke kiblat-kiblat keilmuan dunia dan kini semua mata bisa melihat hasilnya. Negara tetangga kita, Malaysia, yang dahulu berguru kepada kita setelah menjadi pintar kini melesat jauh meninggalkan sang guru yang seolah semakin tua, renta dan tak kuat melangkah.

Telah sampai pula banyak cerita kepada kita tentang keruntuhan peradaban disebabkan jauhnya mereka dari pendidikan dan ilmu pengetahuan. Ingatkah kita tentang keruntuhan kejayaan Islam di Andalusia dan Bangdad beberapa abad lalu yang sampai kini tak lagi bisa kembali karena umat dijauhkan dari sumber-sumber keilmuan dengan dibumihanguskannya perpustakaan dan kitab-kitab yang ditulis para cendekiawan. Lalu tidakkah kita bisa mengambil pelajaran?

Pendidikan Adalah Investasi Masa Depan
Pendidikan adalah satu-satunya cara untuk melawan penyakit kronis bernama kejumudan (kekakuan) dan kejahiliyahan (kebodohan) pikiran. 

Kemajuan dan keunggulan tidak akan bisa diraih jika tidak didukung oleh kejernihan dan kecerdasan hati serta pikiran. Berpendidikan atau dalam bahasa lainnya berilmu bahkan menjadi salah satu yang diperintahkan dalam ajaran agama (Islam) dan penulis yakin juga ada dalam ajaran agama lainnya. 

Wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW bahkan adalah perintah untuk iqra' (membaca) dan bukan perintah lainnya. Begitu pentingnya berilmu sampai diungkapkan dengan kalimat al 'ilmu qobla qouli wal amali (ilmu itu sebelum perkataan dan perbuatan), sebuah peringatan bagi kita semua yang seringkali berkata dan berperilaku tanpa dasar ilmu, Naudzubillah.

Bekal ilmu adalah bekal yang akan abadi sepanjang jaman, bekal yang akan menjadi penuntun kita dikala tersesat dan tak tau arah jalan. 

Dengan bekal ilmu yang didapat lewat pendidikan seseorang akan mengalami kematangan hati dan pikiran. Dengan pendidikan seseorang akan bisa menemukan sendiri solusi dan memecahkan segala persoalan. Ia adalah investasi masa depan tanpa ketakutan akan mengalami kerugian. Sudah semestinya kita kini disadarkan bahwa kekayaan sejati itu bukanlah harta yang melimpah namun ilmu yang bermanfaat yang tak akan habis bila dibagi.

"Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta itu terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan."
(Ali bin Abi Thalib, RA)

Pendidikan Sebagai Alat Perlawanan
Meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Paulo Freire yakni pendidikan sebagai alat perlawanan, sesungguhnya salah satu faktor langgeng-nya penjajahan Belanda atas tanah air tercinta Indonesia adalah karena masyarakat kita waktu itu masih belum tersentuh pendidikan, belum terbuka wawasan kebangsaan. 

Suatu keadaan yang sengaja "dipelihara" para penjajah dengan hanya memberikan akses pendidikan bagi kaum priyayi dan orang kaya, anak-anak desa dan miskin dipaksa dan dikondisikan untuk tetap bodoh dan tidak tahu apa-apa. Hal ini dilakukan bukan tanpa alasan, Belanda sangat paham bahwa semakin banyak orang pintar dan berpendidikan akan semakin menjadi ancaman bagi mereka. Bahkan konon katanya, pemberian gelar "Haji" bagi orang-orang yang baru pulang dari tanah suci adalah inisiatif para penjajah untuk memudahkan pengawasan terhadap pergerakan mereka-mereka yang telah menunaikan rukun Islam ke lima.

Maka kemudian lihatlah kebangkitan rakyat waktu itu dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, dimulai dan dipimpin oleh tokoh-tokoh yang berpendidikan dan berwawasan. Tersebutlah nama-nama seperti proklamator Soekarno - Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, Panglima Besar Sudirman, Ir. Juanda, dan lain sebagainya. Mereka membuktikan bahwa pendidikan bisa dijadikan sebagai alat perlawanan penjajah.

Di era reformasi dan globalisasi  musuh kita tak lagi berwujud penjajah dalam arti sebenarnya seperti yang tersebut sebelumnya. Penjajah yang kini menjadi musuh bersama anak bangsa telah bertransformasi dalam banyak wajah; kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, suap, kesewenang-wenangan, dan semacamnya telah mengerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka semua adalah musuh nyata yang harus kita perangi sekarang juga dan pendidikan adalah senjata yang paling ampuh tiada duanya !

"Akar pendidikan pahit, tapi buahnya manis"
(Aristoteles)

Peradaban Dibangun dan Dirawat dengan Pendidikan
Dalam paparan sebelumnya penulis memberikan beberapa contoh peradaban dunia yang bisa dibangun dengan maju lewat pendidikan yang diberikan kepada para anak bangsanya. Sebaliknya jauhnya dari pendidikan dan ilmu pengetahuan pula yang pada akhirnya menjadi sebab runtuhnya bangunan peradaban suatu negara.

Peradaban besar dunia selalu dibangun di atas dasar ilmu pengetahuan yang mapan pada masanya, hal ini menunjukkan betapa pendidikan mendapatkan tempat yang teramat istimewa. Peradaban Romawi, Persia, Yunani, Mesir, Cina sampai peradaban Islam ketika masa jayanya yang melahirkan nama-nama legenda seperti Aristoteles, Plato, Socrates, Descrates, Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Al Farabi, Al Khawarizmi, dll adalah peradaban yang menjadikan basis pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai pijakan.

Demikian halnya ketika era kebangkitan peradaban di barat mulai menggeliat sedang disaat yang bersamaan reduplah peradaban islam yang selama berabad-abad menyinari dunia. Kiblat keilmuan pun mulai bergeser ke Eropa dan Amerika, nama-nama ilmuan dan cendekiawan mereka yang kini ramai menghiasi buku-buku sekolah, diktat-diktat kuliah maupun pustaka lainnya. Bagi yang pernah belajar ilmu eksak siapa yang tidak mengenal nama-nama seperti Einstein, Newton, Archimedes, Maxwell, Faraday, Coulomb, Joule, Rankine, Carnot, dlsb?

Demikianlah, peradaban selalu dibangun dan kemudian dirawat dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Siapa yang ingin membangun peradaban maka bangunlah dahulu sistem pendidikan yang berkemajuan, pendidikan yang akan mengentaskan orang-orang yang bernaung di bawahnya dari ketertinggalan dan keterbelakangan.

"Arah yang diberikan pendidikan adalah untuk mengawali hidup seseorang yang akan menentukan masa depannya."
(Plato)


Epilog
Sebagaimana judul tulisan ini, Hari Pendidikan Nasional adalah saat yang tepat untuk dijadikan momentum bersama memaknai kembali arti pendidikan yang hakiki. Pendidikan bukan hanya bertujuan untuk menjadikan seseorang berpengetahuan tinggi namun juga memiliki keadaban yang lebih tinggi lagi.

"Educating the mind without educating the heart is no educating at all" (Aristotle)

Pendidikan juga bukan hanya menjadi tanggung jawab parsial anak bangsa yang bergelar dosen, guru, ustadz dan ustadzah, melainkan juga menjadi tanggung jawab bersama seluruh tumpah darah Indonesia. Menjadi pendidik adalah tugas mulia yang bisa dilakukan siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Lebih jauh, mendidik adalah tanggung jawab semua manusia terdidik, apapun profesi dan latar belakang agama, suku, dan ras nya.

Selamat Hari Pendidikan Nasional !
Selamat mendidik, dididik, menjadi dan menghasilkan generasi terdidik !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun