Mohon tunggu...
Pratama
Pratama Mohon Tunggu... Bankir - Economist

I'm just observing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kirana - Part 2

12 Juni 2022   12:28 Diperbarui: 12 Juni 2022   12:33 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jauh sebelum Soekarno memprokalimirkan kemerdekaan, jauh sebelum bendera merah putih pertama kali dijahit, bahkan jauh sebelum republik ini terbebas dari buta huruf, nun jauh di pelosok Bulukumba sekelompok orang tengah bergotong-royong membangun sebuah kapal. Kapal itu terlihat berbeda dengan kapal pada umumnya karena memiliki layar kembang yang melintang searah dengan panjang kapal. Dilihat dari ukurannya, tampak kapal itu dibangun untuk mengarungi luasnya samudera.

"...masyarakat saat itu mengenalnya sebagai kapal Phinisi. Nama phinisi sendiri bukanlah nama kapal, melainkan nama sistem layar yang digunakan kapal tersebut untuk menangkap arah angin, dan mengalirkannya untuk bergerak menjelajah lautan. Kapal phinisi telah menjadi bagian penting dalam sejarah Indonesia sebagai bangsa maritim, dan diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada Desember 2017."

Layla menutup buku kelima yang dibacanya sore itu di perpustakaan sekolah. Kalau bukan karena ditegur penjaga perpustakaan ia mungkin akan menghabiskan waktu lebih lama lagi. Perjalanan pulangnya ke rumah ditemani oleh rasa penasaran tentang apa diucapkan Bu Nurhayati pagi tadi, soal Pesiar dan Phinisi.

Apa hebatnya Phinisi? Cuman kapal kayu tanpa mesin. Tidak punya restoran, tidak ada kolam renang, apalagi lapangan golf. Pikir Layla bahkan hingga menjelang tidur. Kalau memang buku tidak memberikan jawaban, mungkin ia datangi saja Kirana.

Esok menjelang, Layla meminta izin ke Bapaknya untuk tidak berjualan ikan. Ada tugas kelompok, katanya. Layla harus berangkat pagi-pagi sekali untuk melihat Kirana dari dekat karena kapal itu berlabuh di Pelabuhan Gili Mas. Layla tidak bisa naik sepeda motor sehingga ia harus bersepeda sepanjang lebih dari lima puluh kilometer.

Hampir tiga jam lamanya Layla mengayuh sepeda menuju selatan Pulau Lombok. Pagi itu cuaca cerah bersahabat meski masih di penghujung musim hujan. Sesaat mendekati pintu masuk pelabuhan, Layla tidak diizinkan masuk oleh petugas karena tidak memiliki tiket. Tidak patah arang, ia mencari cara bagaimana agar tetap bisa melihat Kirana dari dekat. Beruntung Pelabuhan Gili Mas berlokasi dekat dengan perbukitan, sehingga Layla memutuskan untuk berbelok menyusuri jalan setapak yang mendaki untuk melihat pelabuhan dari atas.

Sedikit kesulitan dalam menghalau akar dan ranting sembari menuntun sepeda, akhirnya Layla sampai di puncak bukit, dan kapal pesiar yang ia cari tepat berada di depan matanya.

Kirana tampak begitu besar sehingga menutupi pemandangan laut yang ada di belakangnya. Kapal-kapal penyebarangan lain terlihat kecil saja bak mainan. Terlihat jelas bahwa kapal itu dirancang untuk menjadi simbol kemewahan dan kemasyuran.

Di tepian kapal terpasang jembatan penyebrangan portable yang menghubungkan kapal dengan dermaga. Beberapa penumpang tampak lalu lalang naik-turun. Dilihat dari cara berpakaian mereka tampak jelas bahwa untuk naik kapal ini haruslah dari kaum berada. Sementara itu di sisi yang lain tampak beberapa awak kapal tengah menurunkan kapal speedboat dengan perlahan, yang digunakan penumpang untuk berselancar menuju pulau-pulau kecil di sepanjang pantai Sekotong. 

Bagian yang menarik perhatian justru ada di buritan kapal, di mana terdapat kolam renang yang menjadi pusat keramaian. Tampak ratusan muda - mudi sedang asik berpesta sambil berteman alkohol dan musik beat. Kolam renang itu sangatlah luas sehingga puluhan orang bisa masuk ke dalamnya sambil berjoget ria.

Dari kejauhan Layla tampak asik menikmati pemandangan yang sangat asing baginya. Bukan hanya soal kapal berukuran raksasa, namun segala bentuk kemewahan yang ditawarkan, pesta, speedboat, dan gaya hidup penumpangnya adalah sesuatu yang baru bagi anak seorang nelayan.

Cukup lama Layla duduk diatas bukit mengamati Kirana dari dekat. Melihat semua itu semakin ia memahami bahwa Kirana, dan seluruh kapal Pesiar lainnya, adalah sebuah visualisasi kemewahan yang dibangun untuk menyenangkan orang. Menyenangkan mereka yang dengan setumpuk kekayaannya bersedia dihamburkan demi mendapatkan setitik lebih kepuasan dalam hidupnya. Berbeda dengan  Phinisi yang dirancang, dibangun, dan dilayarkan untuk memulai sebuah peradaban, menjalin misi dagang, memperkenalkan ragam kebudayaan, yang pada akhirnya memberi kebaikan yang lebih luas.

Mungkin karena dibesarkan sebagai anak nelayan, Layla memaknai kehidupan bagaikan sebuah perjalanan. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Memulai kehidupan, menjalaninya, meninggalkanya lagi, dan berpindah ke tempat yang baru. Filosofi hidup yang mendorongnya untuk merantau kelak setelah lulus SMA, untuk melihat Jakarta, melihat Indonesia, atau bahkan melihat dunia.

Sepanjang jalan pulang Layla terus  merenungkan ragam kejadian yang dialaminya dalam beberapa hari terakhir. Pertemuannya dengan Kirana, Bu Nurhayati, jam-jam waktu yang dihabiskan di perpustakaan, serta bersepeda puluhan kilometer ke semenanjung Sekotong, menyadarkannya bahwa perjalanan bukanlah melulu soal berpindah tempat. Perjalanan seyogyanya memiliki arti lebih dalam tentang sebuah tujuan, mengapa perjalanan itu harus dimulai. Perjalanan tanpa arti hanya akan menjadi sebuah dokumentasi, terekam dalam memori digital, menunggu untuk dibagikan, meski tak banyak orang mempedulikan.

Sebaliknya, perjalanan yang dimulai dengan mimpi, dinavigasi oleh visi, meski hanyalah sebuah langkah kecil, akan memberikan lebih banyak arti.

Sesampainya di rumah kaki Layla pegal bukan main. Kalau ia tidak ingat akan mimpi-mipinya, ingin rasanya dirinya mengisitirahatkan tubuh di sisa hari. Meski berat ia berjalan menuju meja belajar. Diambilnya buku tebal "Kiat Sukses Masuk Perguruan Tinggi Negeri". Dilihatnya kalender di dinding, matanya terfokus pada tanggal tiga Juli yang dilingkarinya besar-besar.

Ujian masuk perguruan tinggi tinggal sebulan lagi.

End

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun