"Dunia sedang dalam ancaman perang bung! Coba lihat lah itu di TV, sering-sering baca koran, biar pintar sedikit kalian itu" ujarnya berapi-api
"Perang apanya? Itu kapal bahtera Nabi Nuh! Dikirim pemerintah untuk jaga-jaga kalau pulau ini tenggelam. Memangnya kamu tak pernah dengar global warming?" Tak mau kalah, Nurpan ikut berdebat meski hilang akal.
Keributan nirfaedah itu baru berhenti ketika Bu Nurhayati memasuki ruangan. Tertawa geli ia dibuat anak muridnya sendiri. Dengan sabar guru geografi itu menjelaskan kalau Kirana hanyalah sebuah kapal pesiar yang membawa wisatawan.
"Sama saja seperti kapal yang kalian pakai untuk menyebrang ke Gili, hanya saja lebih besar, lebih mewah, dan lebih mahal karcis nya" Ujar Bu Nurhayati menjelaskan apa itu kapal pesiar.
Sesi pelajaran pagi itu berganti menjadi sesi mendongeng oleh Bu Nurhayati soal kapal pesiar. Ia memang tahu banyak karena suaminya pernah bekerja sebagai ABK kapal pesiar.Â
Mata mereka tidak berkedip saat gurunya menceritakan kemewahan yang ada di kapal, tentang lorong-lorong bertingkat, ratusan kamar yang bersekat dan berjejer, restoran bintang lima, kolam renang, hingga lapangan golf ada dalam sebuah kapal. Sebagai anak pesisir yang hidup jauh dari hiruk-pikuk dunia pertama, Layla dan teman-temannya tidak pernah membayangkan adanya kapal bak istana yang terapung di lautan.Â
Memang mereka akrab dengan kapal, namun tidak lebih dari kapal bermotor dua mesin yang bising sekali saat dinyalakan. Belum lagi ditambah bau solar yang menyengat dan aroma amis hasil tangkapan ikan.
Namun anehnya, setelah semua hal-hal ajaib kapal pesiar yang diceritakan Bu Nurhayati, ia menutupnya dengan kalimat yang mengundang tanya:
"Jangan jadi pesiar, jadilah phinisi" Ujarnya ketika mengakhiri kelas.
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H