Mohon tunggu...
Pratama
Pratama Mohon Tunggu... Bankir - Economist

I'm just observing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menara Tujuh

16 Februari 2022   20:46 Diperbarui: 16 Februari 2022   20:50 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan mimpi buruk yang membangunkan Adit malam itu. Bukan pula alarm adzan Shubuh yang dia pasang di ponselnya. Sirine ambulance meraung-raung begitu kerasnya dari lantai bawah. Mungkin ada lima sirine yang berbunyi bersamaan, membuatnya terbangun dari tidur yang tak pernah pulas.

Berbalut baju yang basah oleh keringat, dengan malas dia melihat arloji di meja samping. Pukul dua dini hari, seharusnya masih cukup waktu untuknya melanjutkan tidur. Tapi bagaimana mungkin tidur berteman suara bising seperti ini? Akhirnya Adit pun memutuskan untuk terjaga sepanjang sisa malam. Sebagai seorang penderita insomnia, hal ini tentu bukanlah sesuatu yang asing lagi.

Dirinya beranjak sejenak mengambil oximeter di sudut ruangan. Dijepitnya alat itu pada telunjuk kiri, layarnya berkedip-kedip memunculkan angka 91, kemudian turun jadi 90, turun lagi jadi 89. Panik, dia lepaskan oximeter dan dilemparnya ke ujung kasur.

"Bukan, ini cuman karena panik saja" ujarnya menenangkan diri sendiri sambil mengatur nafasnya yang berat. Seharusnya ada Firman di kamar itu yang selalu memberikannya semangat. Namun karena sudah dinyatakan sembuh, sore tadi Firman sudah diizinkan kembali ke rumah.

Merasa jengah, Adit berjalan ke tepi jendela. Dibukanya jendela kamar dan dibiarkannya semilir angin malam menyapa dengan lembut. Dari jendela kamar dia dapat dengan jelas melihat bagunan tinggi kecoklatan di arah timur, sebuah apartemen mewah di daerah Kemayoran. Disanalah seharusnya Adit tinggal, dan dari sanalah biasanya Adit duduk di balkon apartemen sambil mengamati gedung wisma atlet tempatnya bermukin sekarang. Dirinya tersenyum kecut menyadari betapa segalanya berbalik dalam waktu sangat singkat.

Sepertinya sudah dua minggu. Tidak, sudah tiga minggu, dirinya menjadi penghuni menara tujuh wisma atlet. Hari-harinya berteman dengan tumpukan obat antivirus, obat penurun panas, obat radang, vitamin, dan tabung oksigen jika sesak nafasnya kumat. Dalam lamunan sesekali dirinya meluapkan penyelasan. Andaikata hari itu dia tidak ikut pergi ke Surabaya. Andaikata dia sudah disuntik vaksin. Andaikata dia tidak kembali merokok. Terlalu banyak pengandaian malam itu yang tidak bisa diputar balik.

Adit lelah. Bukan fisiknya yang lelah meski sudah babak belur dihajar virus tak bertuan ini. Dirinya lelah memelihara semangat hari demi hari untuk tetap bertahan hidup, untuk bisa kembali sehat. Seandainya dia bisa memilih, lebih baik dia mengisolasi diri di apartemennya, menjauh dari segala macam nuansa suram dalam gedung ini, menepi dari segala kabar duka yang setiap hari lewat di telinganya. Namun apa daya, gejala yang dia alami cukup berat sehingga pihak dokter memaksanya untuk dirawat di wisma atlet.

Sayup-sayup terdengar suara adzan dari kejauhan. Sudah hampir pagi, biasanya setelah sholat dirinya baru bisa tertidur kembali. Saat dirinya hendak mengambil wudhu terdengar suara langkah-langkah kaki dari kamar depan. Kamar Pak Arifin, salah satu temannya selama menjalani masa perawatan. Kemarin Pak Arifin bilang akan pulang hari ini, namun apakah sepagi ini?

Penasaran Adit membuka pintu kamarnya. Ada tiga orang petugas kesehatan berbaju APD lengkap, sedang sibuk membereskan kamar Pak Arifin sembari menyemprotkan cairan disinfektan. Terasa ganjil, Adit pun bertanya pada salah satunya.

"Pak Arifin sudah pulang mbak?" Tanyanya

Tidak jelas raut wajah dari suster yang dia tanya. Masker tebal dan baju APD membuat ekspresinya sulit ditebak.

"Beliau terkena badai sitokin mas. Baru saja malam tadi. Sudah terlambat." Jawab sang suster pelan.

Adit terdiam. Pikirannya membeku sambil mengawasi petugas kesehatan membersihkan kamar di hadapanya. Kakinya lemas, dan tanpa sadar dirinya merosot bersender di pintu kamarnya.

Selama 30 tahun hidupnya baru kali ini ia merasakan kematian begitu dekat. Malaikat maut seolah tengah berjalan pelan di sepanjang lorong menara tujuh, mengetuk-ngetuk pintu kamar penghuninya, menandakan waktu mereka sudah habis.

Hanya ada satu yang dia pikirkan. Bagaimana jika setelah ini, adalah gilirannya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun