Mohon tunggu...
Pratama
Pratama Mohon Tunggu... Bankir - Economist

I'm just observing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jumat Sore

1 Februari 2022   15:57 Diperbarui: 1 Februari 2022   16:01 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kenapa jauh sekali?"

Ujar Lukman memulai percakapan, mengakhiri kebekuan dua insan remaja yang tengah duduk santai menjelang pergantian siang dan malam. Bukan pemandangan yang asing sebetulnya sore itu di tepian rel kereta yang membelah Kabupaten Lampung tengah, melihat muda-mudi bercengkrama melepas lelah setelah seharian bekerja. 

Sebagian besar mereka, yang pria, adalah pekerja ladang di kebun nanas. Sementara yang wanita adalah buruh pabrik di pabrik pengalengan nanas yang lokasinya tak jauh dari kebun.

Tak terkecuali Lukman dan Anisa, yang harus bekerja paruh waktu selepas sekolah di SMP 3 Terbanggi Besar.

***

Sepulang sekolah Lukman dan Anisa kembali ke rumah sebentar. Meletakan baju dan berganti pakaian. Lukman, dengan topi lebar khas pekerja ladang dan sarung tangan tebal untuk memanen nanas, langsung bergegas mengayuh sepeda menuju kebun. 

Sementara Anisa mengenakan seragam serba putih dengan logo buah nanas, ciri khas pakaian pabrik, bersama ribuan wanita lainnya berjejer rapih masuk melalui halaman pabrik bertuliskan "PT Nanas Raksasa".

Ayah Lukman adalah penduduk asli Lampung, pekerja ladang sawit sebelum berganti menjadi lahan nanas 15 tahun silam. Sudah lama Lukman sudah memperhatikan ayahnya menjadi peladang. 

Ladang nanas adalah tempat bermain Lukman sejak kecil, berteman dengan pekerja ladang yang lain, dan menumpang truk nanas kalau ingin berpergian. 

Tak jarang Lukman ikut dikasih buah nanas kalau sedang musim panen. Ketika sudah dewasa Lukman ikut mendaftar bekerja di ladang nanas membantu ayahnya. Bagi Lukman, inilah kehidupan yang dia ketahui.

Sementara orang tua Anisa adalah pendatang dari Jawa yang ikut program transmigrasi. Berbekal sebidang tanah dari pemerintah, keluarga Anisa memulai hidup baru diluar hiruk-pikuk Jawa yang tak pernah sepi. Namun nyatanya kehidupan di luar Jawa pun tidaklah mudah. 

Bertani bukanlah pekerjaan yang begitu saja bisa mendatangkan pundi-pundi kekayaan, terlebih jika cuaca dan hama tidak bersahabat. Akhirnya dengan terpaksa Anisa harus bekerja paruh waktu untuk membantu dapur rumahnya tetap mengepul.

Lukman dan Anisa bersahabat sejak kecil. Keduanya masuk SD yang sama, SMP yang sama, dan bekerja di tempat yang sama. Setelah bekerja mereka biasa duduk santai sambil bertukar cerita apa yang terjadi di kebun atau di pabrik. Momen setiap sore itulah menjadi pelepas lelah mereka dengan berbagi tawa. Namun sore itu, tak tampak sedikitpun senyum di wajah mereka.

***

"Ke Surabaya? Buat apa? Memangnya disini gak ada sekolah yang bagus?" Lanjut Lukman mencecar Anisa yang masih bungkam.

Baru saja pagi ini, Lukman mendengar Anisa akan pindah sekolah. Belum percaya dirinya sebelum mendengar langsung dari Anisa. Karenanya sore ini Lukman tanpa henti bertanya ke Anisa, namun sepertinya Anisa juga tidak tahu harus menjawab apa.

"Sabar dulu man, jangan emosi begitu. Ini bukan keputusanku. Ayah dan Ibuku yang bersikukuh aku sekolah di Jawa" Ujar Anisa pelan.

"Ta-Tapi kenapa?"

"Supaya aku tetap bisa jadi dokter, man"

Lukman tertegun. Panjang ia menghela nafas mendengar jawaban Anisa. Jawaban singkat itu menjawab semuanya, sebuah ketakutan tak lazim dalam hati Lukman seandainya mereka harus berpisah.

Lukman tahu Anisa sangat ingin jadi dokter. Terlebih ketika adiknya yang masih kecil meninggal 5 tahun silam akibat kelainan jantung. Menjadi dokter bukanlah cita-cita bagi pemuda-pemudi kampung yang setiap hari harus bergelut dengan nanas, yang setiap akhir bulan harus panjang mengantri mengambil upah agar esoknya bisa dibayarkan untuk SPP sekolah.

Bukan, menjadi dokter bukanlah untuk mereka. Bagi mereka masa depan sudah tertulis sejak dulu sekali: bekerja di ladang atau pabrik. Itulah pilihan terbaik untuk mereka.

Namun Anisa bukanlah anak muda kebanyakan. Cita-citanya gigih ingin menyelamatkan orang, agar tidak lagi ada orang yang mengalami nasib seperti adiknya. Setiap malam ia belajar dengan tekun, meski ia tahu belajar saja tidak cukup. Dengan segala yang serba terbatas, bagaimana mungkin anak kampung yang tinggal di pedalaman kebun nanas ini bisa masuk sekolah kedokteran?

"Aku akan tinggal bersama nenek. Nenek bilang dia punya kenalan guru agar aku bisa masuk SMA favorit di Surabaya. Kalau aku bisa masuk SMA yang bagus, kemungkinan aku bisa masuk sekolah kedokteran di Jawa makin besar". Lanjut Anisa dengan ekspresi hampa.

Rupanya sekitar sebulan lalu keluarga Anisa di Jawa menelpon. Menawarkan bantuan agar Anisa bisa melanjutkan sekolah di Surabaya, paling tidak sampai SMA, sembari mencari informasi beasiswa untuk melanjutkan sekolah kedokteran.

"Akan lebih mudah aku mendapat informasi jika aku tinggal disana man. Disini semuanya serba sulit"

Lukman diam tak berkata. Rasanya seperti dj vu. Rasanya sudah lama sekali mereka berdua duduk di tepian rel kereta ini sambil bercerita soal impian. 

Saat itu Lukman hanya tersenyum mendengarkan, Anisa yang begitu gigihnya bercita-cita ingin menjadi dokter, bagaimana rencananya untuk sekolah kedokteran di Jawa dengan beasiswa agar tidak merepotkan keluarga. Beruntung Anisa punya sedikit harapan dari neneknya yang menawarkan kesempatan melanjutkan sekolah di tempat yang lebih baik.

Sedangkan Lukman? Ia hanyalah pemuda biasa nirmimpi. Masa depannya sudah digoreskan lama sekali di langit: menjadi petani, sebagaimana ayahnya, kakaknya, pamannya, kakeknya, kerabatnya dan anak-anaknya kelak.

Tahukah kawan, kalau lingkaran setan itu punya wujud dia akan berwujud kemiskinan dan kebodohan. Sekali manusia masuk ke dalam akan sulit sekali melepaskan diri. 

Hanya mereka yang punya tekad baja dan sepercik keberuntunganlah yang bisa memerdekakan dirinya, dan keturunan-keturunan setelahnya, dari lingkaran abadi setan itu.

Ironisnya di sisi yang lain, mereka yang berada di lingkaran kemakmuran akan sulit juga melepaskan diri. Meski sebebal dan sebodoh apapun mereka yang berada dalam lingkaran kemakmuran, akan selalu ada yang menjaga mereka tetap berada dalam kemakmuran itu. Hidup memang seunik itu.

Langit semakin memerah, berganti warna menjadi lembayung kebiruan. Serak burung gagak mulai ramai pertanda matahari berpamit dengan rembulan. Dari jauh, sayup-sayup azan magrib berkumandang, mengingatkan hamba Tuhan untuk menutup hari dengan menghadap Nya.

"Jadi, kita berpisah?" Tanya Lukman pelan sekali. Entah kenapa pertanyaan itu ia tanyakan meski sudah jelas jawabannya.

"Aku harap kamu bisa ikut, man" Jawab Anisa lirih sambil menyeka air mata.

"Aku harap. Tapi aku bukan dokter nis. Aku hanya petani" Ujar Lukman tersenyum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun