Bertani bukanlah pekerjaan yang begitu saja bisa mendatangkan pundi-pundi kekayaan, terlebih jika cuaca dan hama tidak bersahabat. Akhirnya dengan terpaksa Anisa harus bekerja paruh waktu untuk membantu dapur rumahnya tetap mengepul.
Lukman dan Anisa bersahabat sejak kecil. Keduanya masuk SD yang sama, SMP yang sama, dan bekerja di tempat yang sama. Setelah bekerja mereka biasa duduk santai sambil bertukar cerita apa yang terjadi di kebun atau di pabrik. Momen setiap sore itulah menjadi pelepas lelah mereka dengan berbagi tawa. Namun sore itu, tak tampak sedikitpun senyum di wajah mereka.
***
"Ke Surabaya? Buat apa? Memangnya disini gak ada sekolah yang bagus?" Lanjut Lukman mencecar Anisa yang masih bungkam.
Baru saja pagi ini, Lukman mendengar Anisa akan pindah sekolah. Belum percaya dirinya sebelum mendengar langsung dari Anisa. Karenanya sore ini Lukman tanpa henti bertanya ke Anisa, namun sepertinya Anisa juga tidak tahu harus menjawab apa.
"Sabar dulu man, jangan emosi begitu. Ini bukan keputusanku. Ayah dan Ibuku yang bersikukuh aku sekolah di Jawa" Ujar Anisa pelan.
"Ta-Tapi kenapa?"
"Supaya aku tetap bisa jadi dokter, man"
Lukman tertegun. Panjang ia menghela nafas mendengar jawaban Anisa. Jawaban singkat itu menjawab semuanya, sebuah ketakutan tak lazim dalam hati Lukman seandainya mereka harus berpisah.
Lukman tahu Anisa sangat ingin jadi dokter. Terlebih ketika adiknya yang masih kecil meninggal 5 tahun silam akibat kelainan jantung. Menjadi dokter bukanlah cita-cita bagi pemuda-pemudi kampung yang setiap hari harus bergelut dengan nanas, yang setiap akhir bulan harus panjang mengantri mengambil upah agar esoknya bisa dibayarkan untuk SPP sekolah.
Bukan, menjadi dokter bukanlah untuk mereka. Bagi mereka masa depan sudah tertulis sejak dulu sekali: bekerja di ladang atau pabrik. Itulah pilihan terbaik untuk mereka.