Mohon tunggu...
Hanifatul Hijriati
Hanifatul Hijriati Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang suka menghayal

I am an ordinary girl who tries to be an undefeated girl

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Glorifikasi Pendidikan di Tengah Kesenjangan

6 Juli 2020   08:25 Diperbarui: 27 Januari 2021   05:20 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Haruskah guru selalu menggunakan teknologi terbaru dalam pengajaran? Seberapa penting guru menggunakan aplikasi pengajaran terkini dalam proses pendidikan? Dari sekian banyak diklat dan pelatihan yang saya ikuti di kalangan pendidik, narasi ketertinggalan guru dalam menguasai teknologi selalu didengungkan.

Guru yang tidak menguasai teknologi, terlebih di masa pandemi saat ini, bisa dibilang guru yang tidak kreatif.

Dalam sebuah forum yang saya ikuti, seorang narasumber pelatihan yang juga berstatus guru, bertanya metode ataupun teknik apa yang dipakai guru dalam pembelajaran di masa pandemi.  Seorang guru yang mengajar pelajaran Kimia mengaku selama ini ia menggunakan whatsapp untuk pengumpulan tugas siswa.

Reaksi dari narasumber tentu sesuai dugaan saya. Kuno! Begitu ucapnya. Narasumber lalu mulai bernarasi tentang pentingnya guru menguasai teknologi. Ia memaparkan berbagai aplikasi pengajaran yang bisa digunakan. Dari Google Classroom, Quipper school, Edmondo, Quizzi, Zoom dan masih banyak lagi. Aplikasi-aplikasi tersebut diklaim mampu membuat proses pengajaran jarak jauh efektif dan efisien.

                                                                                                                 

Rendahnya kualitas guru dalam menguasai teknologi pun juga dibenarkan oleh Kemendiknas. Teknologi yang bagaimana? Jika mengacu pada sistem dari UNESCO, ada yang disebut dengan literasi teknologi. Kemudian tahap selanjutnya mampu mengoperasikan dan membuat konten sendiri.

Yang terakhir mampu menjadi trainer. Dari hasil pemetaan kemendiknas ini pada tahap level satu baru 46 % guru yang menguasai dan tahap selanjutnya baru 14 %. Hasil pemetaan ini tentunya semakin menambah unsur rendahnya kualitas guru di negeri ini. Namun sebelum sampai pada kesimpulan tersebut, banyak fakta-fakta lain yang masih harus dievaluasi.

Kecepatan teknologi di dunia pendidikan tidak seperti di bidang lain. Terkesan lambat dan tidak responsif. Hal ini berkaitan karena sektor pendidikan adalah sektor yang bergerak dalam pembentukan karakter. Di negara kita, harus diakui, pendidikan masih disibukkan dengan membangun pondasi nilai-nilai tanggung jawab serta kemandirian.

Dari sekian juta sekolah yang ada di seluruh Indonesia, bisa dihitung hanya beberapa saja yang memiliki siswa dengan tingkat motivasi belajar tinggi. Mudahnya saja semisal satu kabupaten memiliki sekitar 15 SMA. Maka SMA yang memiliki siswa unggul dengan tingkat motivasi belajar tinggi ada lima SMA. Lima SMA ini saja masih bisa diberi peringkat lagi.

 Selebihnya adalah SMA yang memiliki siswa dengan tingkat kognitif rata-rata dan rendah. Ini adalah gambaran sekolah sebelum diterapkan zonasi, dan saya pikir tidak jauh berbeda setelah sistem zonasi diterapkan, karena ada jalur prestasi bagi sekolah yang unggul. Ini belum kondisi sekolah yang ada di wilayah pelosok Indonesia.

 Bisa disimpulkan bahwa jumlah siswa rata-rata itu lebih banyak dari yang unggul. Siswa unggul saja masih terpusat di wilayah perkotaan.

 Di sekolah pinggiran, dengan peserta didik yang rendah motivasi belajarnya, energi guru lebih banyak habis untuk menanamkan nilai-nilai tanggung jawab. Ketika guru dipaksa menggunakan teknologi informasi terkini demi mengejar reputasi guru yang tidak tertinggal secara teknologi, hasilnya adalah miskonsepsi pada peserta didik. Informasi tidak terserap dengan baik bahkan tidak masuk memori siswa.

Sebagai contoh pengenalan sebuah materi, guru mencoba menggunakan video animasi pendek untuk merangsang siswa berpikir. Video ini juga memiliki konten menghibur agar siswa tidak bosan. Animasinya pun empat atau bahkan lima dimensi. Sebut saja materinya mengenalkan unsur grammatikal bahasa.

Hasilnya siswa ternyata lebih tertarik untuk menonton animasinya saja tanpa menyerap informasi pengetahuan yang ada. Sebagai siswa dengan motivasi belajar rendah dan sedang, melihat sesuatu yang merupakan hasil dari teknologi canggih, akan memilih untuk menikmatinya saja seraya terkagum-kagum.

Sama halnya seperti pengalaman saya sendiri. Dengan menggunakan teknologi terkini yang memuat unsur hiburan saya harap siswa senang, namun ternyata banyak siswa yang tertegun atau bahkan berisik.

Alih-alih, siswa justru lebih banyak berkomentar tentang tampilan luar dari apa yang ditayangkan. Alhasil transfer ilmu pengetahuan menjadi nihil adanya.

Saya kemudian menggunakan teknik yang berbeda tanpa menggunakan teknologi informasi. Saya memakai gambar besar-besar seukuran kertas karton yang saya tempel di tembok kelas. Hasilnya siswa menjadi lebih bersemangat, transfer ilmu lebih berhasil dilakukan.

Di masa pandemi, saya pertama-tama mencoba menggunakan Google Classroom yang saya kombinasikan dengan penggunaan google form. Karena aplikasi ini yang paling umum dipakai.

Di awal penggunaan saya sudah mengalami kendala. Ada beberapa siswa yang kesulitan sinyal, belum lagi android yang digunakan siswa ada yang memiliki keterbatasan kapasitas, ada yang gawai androidnya rusak dan permasalahan kuota tak memadai. Aplikasi juga semakin lambat karena banyaknya pengguna.

 Saya sempat berpikir untuk berpindah ke aplikasi lain, namun jika itu saya lakukan maka saya merasa tidak berlaku adil bagi siswa saya yang mengalami permasalahan fasilitas. Setelah saya pertimbangkan baik-buruknya saya memutuskan pengumpulan tugas melalui Whatsapp dengan tulisan tangan.

Untuk latihan saya mengandalkan google form karena quizzi banyak yang tidak dapat mengaksesnya. Apakah efisien? Ya efisien saja. Karena Whatsapp bisa dipakai meskipun kuota habis atau dalam keadaan menipis. Jika yang dimaksud beban kerja semakin berat, saya pikir tidak juga. Karena itu sudah menjadi tugas guru.

Menulis jawaban secara manual saya anggap sebagai hasil pekerjaan otentik siswa meskipun sumber jawaban bisa saja mudah didapat dari internet. Jika teknik seperti ini dianggap tidak efisien dan modern, maka penggunaan komputerisasi akan tidak dapat terelakkan dari sistem copy paste pekerjaan siswa yang terkesan formalitas.

Tinggal tujuan pembelajaran sebenarnya diarahkan ke mana. Apakah guru ingin dinilai dari bagaimana ia mampu menggunakan teknologi terkini atau guru memiliki tujuan agar ilmunya tersampaikan dengan baik dan terpraktekkan sesuai dengan kemampuan siswa.

Hampir seluruh akademis menganggap tidak ada penggunaan teknologi canggih apapun yang bisa dianggap sangat efektif. Teknik yang disebut ideal adalah teknik yang mampu membuat peserta didik memahami dan mempraktekkan teori yang disampaikan.

Saya kurang paham pemetaan yang dilakukan kemendiknas apakah telah mempertimbangkan kondisi dan latar belakang siswa seluruh Indonesia atau tidak. Mungkin saja banyak guru di pedalaman yang menggunakan teknik mengajar dengan cara sangat tradisional namun justru bisa membuat siswa berpikir kreatif.

Setidaknya penilaian ketertinggalan guru dalam hal teknologi harus adil dan menyeluruh tidak hanya didasarkan pada kemampuan guru membuat konten di youtube, materi di Google Classroom atau soal di google form namun siswa seperti tidak mendapat apa-apa, bagai orang kampung yang turun ke kota besar dan melihatnya gemerlap kota tanpa tahu apakah ia bisa menikmati keindahannya atau justru merasa canggung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun