Sudahlah mereka harus mengasuh anak dan mengurus rumah tangga, beban mereka ditambah lagi dengan menjadi kepala keluarga. Bukankah hal ini menegaskan bahwa perempuan memiliki beban ganda?
Jika peran ibu atau istri telah dipinggirkan karena harus menjadi kepala keluarga, lantas bagaimana nasib anak-anaknya kelak? Tidak kita melihat kerusakan moral yang merajalela di negeri ini? Sebagian besarnya disebabkan oleh kurangnya kasih sayang dan pengasuhan ibu terhadap anak. Inilah dampak buruk yang jarang disadari oleh perempuan dan berbagai pihak lainnya.
Pengarusutamaan perempuan menjadi kepala keluarga, sejatinya juga merupakan propaganda Barat (musuh-musuh Islam) dalam menghancurkan tatanan keluarga Muslim. Barat dengan sistem ekonomi kapitalisnya, memaksa perempuan untuk keluar dari habitat ternyamannya yaitu di rumah.Â
Dalam sistem kapitalis juga, perempuan hanyalah dipandang sebagai objek penghasil materi. Alhasil, streotip yang berkembang di masyarakat adalah bahwa kesuksesan erat kaitannya dengan materi. Tak ada dalam kamus kapitalisme bahwa kesuksesan adalah ketika Allah ridho dengan hamba-Nya.
Akibatnya, banyak perempuan merasa malu jika hanya sekedar menjadi IRT (Ibu Rumah Tannga). Mereka lebih rela keluar rumah meninggalkan keluarganya untuk bekerja dan mempertontonkan auratnya. Banyak juga perempuan yang tak punya pilihan sehingga harus keluar rumah untuk menjadi tulang punggung keluarga.
 Akhirnya, fitrah perempuan semakin tergerus dan tak sedikit yang berpikiran untuk tidak menikah karena menurut mereka menikah adalah salah satu jalan yang mengekang kehidupan mereka.
Kalau sudah begini, masalah-masalah baru akan bermunculan seperti tingginya angka perceraian dengan gugat cerai dari pihak istri, perselingkuhan, pelecehan seksual yang menimpa perempuan di dunia kerja, fenomena waithood (menunda pernikahan), dan kerusakan moral generasi.Â
Inilah yang diinginkan Barat. Mereka tidak menyukai keluarga-keluarga Muslim yang taat dan harmonis karena hal tersebut akan menghalangi hegemoni mereka terhadap negeri-negeri Islam serta kekayaan SDA nya.
Pada intinya, program PEKKA atau program-program pemberdayaan perempuan lainnya semakin menegaskan bahaya sistem kapitalisme yang meniadakan agama dalam kehidupan menjadi spirit dari program-program tersebut.Â
Padahal kemiskinan dan sulitnya lapangan kerja bagi laki-laki hari ini bukan disebabkan oleh perempuan yang tidak mau bekerja, melainkan karena sistem kapitalisme yang meniscayakan kepemilikan SDA dikuasasi oleh asing melalui prinsip salah satu pilarnya yaitu kebebasan kepemilikan.
Akhirnya rakyat tak pernah merasakan hasil keuntungan pengelolaan SDA di negerinya masing-masing. Malahan hanya merasakan dampak buruk dari pengelolaan SDA yang ditinggalkan begitu saja oleh oligarki. Lantas, kepada apa dan bagaimana perempuan harus berharap mendapat kesejahteraan? Mau sampai kapan perempuan harus tergerus fitrahnya?