Mohon tunggu...
Hanifah Tarisa
Hanifah Tarisa Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Emang Boleh Pemimpin Rakyat Semewah Itu?

14 Desember 2023   21:05 Diperbarui: 14 Desember 2023   21:40 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Emang Boleh Se-Mewah Itu?

Budaya materialistis dan konsumtif yang mewarnai kehidupan hari ini telah membuat sebagian masyarakat cenderung hidup bermewah-mewahan tak terkecuali kepada para pejabatnya di negeri ini. Standar kebahagiaan hari ini yang diukur berdasarkan jumlah materi yang dimiliki seperti mobil mewah, pakaian bermerek atau properti yang mahal telah membuat silau seseorang dan rela mengejar kebahagiaan bernilai materi tersebut dengan segala cara. Bisa dengan jalan memanfaatkan harta negara atau dengan korupsi.

Sungguh gaya hidup mewah para pejabat di negeri ini seakan nir empati pada jutaan rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Tak seharusnya para pemimpin itu bisa hidup tenang dan nyaman sementara banyak rakyatnya yang mengalami kesusahan hidup di segala lini. Mau berobat mahal, mau sekolah atau kuliah mahal, mau makan dengan cukup saja pun mahal. Semua serba susah dan mahal. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) saja mengatakan masih ada 25,90 juta rakyat yang hidup dengan kemiskinan ekstrem. Ini data yang tercatat, bagaimana yang tidak tercatat? Tentu jumlahnya jauh lebih banyak.

Namun anehnya para penguasa di negeri ini justru malah sibuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya dengan bermewah-mewahan. Tak cukupkah gaji, tunjangan dan fasilitas yang mereka dapatkan ketika menjabat? Mengapa anggaran untuk membeli kendaraan dinas tersebut tak dialokasikan untuk kebutuhan rakyat yang lebih urgen? Seperti membangun sekolah yang rusak, membantu pengobatan dan pendidikan rakyat atau mencukupkan sandang pangan dan papan rakyat? Namun sayangnya keinginan tersebut mustahil tercapai ketika negeri ini masih menerapkan sistem kapitalis sekuler yang terbukti menyengsarakan rakyat. Nyatanya rakyat akan tetap miskin sementara para penguasanya makin kaya.

Pemimpin dalam Sistem Islam

Islam bukan sekedar agama ritual melainkan adalah sebuah ideologi yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Termasuk dalam kepemimpinan dan pengelolaan harta negara. Dalam memilih pemimpin, Islam menetapkan aspek ketakwaan dan kecakapan pemimpin terhadap suatu jabatan menjadi modal utama. Standar takwa tentu hal yang sangat penting bagi seluruh pegawai negara karena ketakwaan akan membuat seseorang takut kepada Allah dan hisabnya kelak di akhirat.

Dengan ketakwaannya tersebut, para pemimpin akan menjauhi harta ghuulul. Harta ghuluul adalah harta yang didapat dari pegawai negara baik dari harta milik negara maupun milik rakyat dengan cara yang tidak syar'i. Pejabat yang kedapatan mengambil harta haram tersebut wajib mengembalikannya kepada pemilik atau disita dan diserahkan kepada Baitul Mal. Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, sumber harta ghuluul diperoleh dari suap, hadiah atau hibah, harta negara atau harta rakyat, harta yang diperoleh pejabat dari balas jasa atau jual beli yang dilakukan antara perusahaan dan negara serta harta hasil korupsi.

Selain aspek ketakwaan, pengawasan dari negara dan rakyat serta sistem sanksi yang tegas dan jera adalah faktor penting lainnya dalam menjaga pemimpin agar tidak mudah terjerumus dengan harta ghuluul. Salah satu contoh yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab dalam menjaga para pegawainya dari harta ghuluul adalah dengan menerapkan konsep pembuktian terbalik.

Caranya ketika pegawai tersebut baru pertama kali menjabat, Khalifah Umar mencatat hartanya terlebih dahulu. Tujuannya untuk mengetahui pertambahan dan sumber pertambahannya jika ada selama menjabat. Jika terbukti ada pertambahan, maka Khalifah Umar akan menanyakan langsung darimana sumber pertambahan tersebut dan akan menyita harta pertambahan tersebut dengan cara membaginya jika pejabatnya tak mampu menjelaskan sebab pertambahan tersebut.

Pada masa kepemimpinan Khalifah Umar juga, para pemimpin dilarang untuk melakukan bisnis agar mereka tidak disibukkan dengan perdagangan yang justru nantinya akan merusak pasar karena status mereka yang tidak sepadan dengan rakyat. Demikianlah karakter pemimpin dalam sistem Islam yang bersih dari harta-harta ghuluul. Mereka takut harta tersebut akan memperberat hisab mereka di akhirat sehingga menyebabkan mereka jatuh pada siksa Allah karena memakan harta rakyat dari jalan yang batil. Kekuasaan yang mereka dapatkan bukan untuk meraih kekayaan seperti dalam sistem demokrasi sekuler hari ini namun kekuasaan mereka senantiasa diwakafkan untuk melayani kebutuhan rakyat.

Alhasil hanya dalam sistem Islam lah akan lahir pemimpin-pemimpin sekelas Umar bin Khattab atau Umar bin Abdul Aziz yang sangking takutnya terhadap harta negara, lebih memilih mengobrol dengan putranya gelap gulita hanya karena lampu yang digunakan dalam ruangannya adalah lampu dari uang negara sementara perbincangan kepada anaknya hanyalah urusan keluarga dan bukan urusan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun