Mohon tunggu...
Hanifah Salma Muhammad
Hanifah Salma Muhammad Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis merupakan seorang pascasarjana yang mengambil fokus pada bidang hukum keluarga yang memiliki hobi meneliti, menulis dan berolahraga. Dalam web ini, tulisan-tulisan yang akan di posting lebih fokus dalam membahas terkait hukum, keluarga, perekonomian dan anak yang diharapkan bermanfaat untuk masyarakat luas. Karya penulis dalam jurnal juga dapat di lihat dalam GoogleSchoolar. Mari tumbuh, berkembang, dan maju bersama untuk bangsa dan negara.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Doom Spending dan Keluarga: Menjaga Stabilitas Finansial di Tengah Godaan Kosumtif

4 Oktober 2024   13:23 Diperbarui: 4 Oktober 2024   13:27 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah doom spending telah muncul sebagai fenomena baru dalam perilaku konsumen. Istilah ini merujuk pada kebiasaan belanja impulsif yang terjadi saat seseorang merasa tertekan, cemas, atau khawatir mengenai kondisi masa depan, seperti krisis ekonomi atau ketidakpastian global. Meskipun tampak sebagai cara untuk sementara meredakan stres, doom spending justru berisiko mengganggu stabilitas keuangan, terutama dalam konteks rumah tangga.

Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana kebiasaan konsumtif ini bisa berdampak pada ekonomi keluarga, apa yang memicu perilaku tersebut, dan langkah-langkah yang dapat diambil untuk menjaga stabilitas finansial di tengah godaan doom spending.

Doom Spending dan Dampaknya pada Keuangan Keluarga

Doom spending kerap kali dipicu oleh perasaan cemas yang tidak terkelola dengan baik, seperti ketidakpastian ekonomi akibat pandemi atau resesi global. Dalam situasi ini, individu sering merasa bahwa berbelanja dapat memberikan rasa kendali atau kesenangan sementara. Sayangnya, perilaku ini bisa menjadi kebiasaan yang sulit dihentikan dan dapat merusak anggaran keluarga.

Efek domino yang ditimbulkan oleh doom spending dapat terlihat dalam bentuk pengeluaran yang tidak terencana, yang menyebabkan anggaran keluarga menjadi kacau. Misalnya, pembelian barang-barang tidak penting atau melebihi anggaran yang sudah ditetapkan akan mengurangi dana yang seharusnya dialokasikan untuk kebutuhan pokok, seperti makanan, pendidikan anak, atau tabungan darurat.

Akibatnya, keluarga yang terjebak dalam pola doom spending sering kali harus berurusan dengan hutang kartu kredit yang menumpuk, berkurangnya tabungan, atau bahkan kesulitan memenuhi kewajiban finansial lainnya.

Mengapa Doom Spending Terjadi?

Perilaku ini sering kali bersifat psikologis. Banyak orang beralih ke belanja sebagai mekanisme pelarian dari stres. Ketika kecemasan meningkat akibat krisis atau ketidakpastian masa depan, berbelanja memberikan hiburan instan. Fenomena ini semakin diperburuk dengan kemudahan akses belanja daring, di mana seseorang bisa berbelanja kapan saja tanpa batasan.

Tidak hanya itu, tekanan sosial juga memainkan peran. Dalam era digital, banyak keluarga merasa terdorong untuk menampilkan gaya hidup yang terlihat "mapan" di media sosial, meskipun pada kenyataannya mereka kesulitan mengelola anggaran.

Menjaga Stabilitas Keuangan Keluarga

Mengelola keuangan keluarga dengan bijak menjadi kunci utama untuk mencegah dampak negatif dari doom spending. Berikut adalah beberapa langkah praktis yang dapat diambil:

  1. Membuat Anggaran yang Realistis
    Langkah pertama untuk menjaga stabilitas finansial adalah dengan menyusun anggaran keluarga yang realistis. Pastikan setiap anggota keluarga mengetahui batas pengeluaran yang sudah ditetapkan dan patuhi anggaran tersebut. Dengan perencanaan yang baik, pengeluaran impulsif dapat diminimalisir.

  2. Menabung untuk Masa Depan
    Salah satu cara terbaik untuk mengurangi ketergantungan pada belanja impulsif adalah dengan membangun dana darurat. Menabung secara teratur memberi keamanan finansial, sehingga ketika kecemasan muncul, keluarga tidak akan merasa terdorong untuk melarikan diri ke belanja konsumtif.

  3. Mengatasi Penyebab Emosional
    Doom spending sering kali merupakan hasil dari perasaan cemas atau tidak aman. Oleh karena itu, penting untuk menemukan cara-cara sehat dalam mengatasi stres, seperti berbicara dengan pasangan atau teman, berolahraga, atau menjalani kegiatan yang menenangkan. Dengan cara ini, kebutuhan emosional tidak lagi dilampiaskan melalui belanja.

  4. Edukasi Keuangan untuk Keluarga
    Penting bagi setiap anggota keluarga, termasuk anak-anak, untuk memiliki pemahaman dasar mengenai manajemen keuangan. Literasi keuangan dapat mengurangi risiko doom spending, karena setiap anggota keluarga menjadi lebih sadar akan pentingnya pengelolaan uang yang bijaksana.

Kebijakan Keuangan di Masa Krisis

Keluarga yang mengalami dampak finansial dari doom spending perlu mempertimbangkan langkah-langkah strategis untuk mengatasi masalah tersebut. Di masa krisis ekonomi atau ketidakpastian global, beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:

  • Mengurangi Pengeluaran Tidak Penting
    Evaluasi pengeluaran keluarga dan singkirkan kebutuhan sekunder atau barang mewah yang tidak mendesak. Fokuskan keuangan pada kebutuhan pokok terlebih dahulu.

  • Diversifikasi Pendapatan
    Mencari sumber pendapatan tambahan bisa membantu memperkuat anggaran keluarga. Hal ini bisa berupa pekerjaan sampingan atau memanfaatkan aset yang ada.

  • Rencana Pengelolaan Utang
    Jika doom spending sudah menimbulkan hutang yang menumpuk, penting untuk menyusun rencana pengelolaan utang. Bisa dengan negosiasi ulang suku bunga atau memprioritaskan pelunasan utang berbunga tinggi.

Dari penjelasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa doom spending adalah ancaman nyata terhadap stabilitas keuangan keluarga, terutama di masa krisis ekonomi atau ketidakpastian. Untuk mengatasi godaan ini, penting bagi keluarga untuk mengembangkan keterampilan manajemen keuangan yang baik, mengatasi penyebab emosional yang mendasari perilaku konsumtif, dan tetap berfokus pada tujuan jangka panjang. Dengan demikian, keluarga dapat menjaga stabilitas finansial mereka dan menghadapi tantangan ekonomi dengan lebih percaya diri.

Melalui perencanaan yang matang dan disiplin dalam mengelola anggaran, keluarga tidak hanya akan terhindar dari dampak negatif doom spending, tetapi juga dapat membangun fondasi keuangan yang lebih kuat untuk masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun