Media sosial kini telah menjadi bagian dari keseharian kita. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter tak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga tempat memamerkan kehidupan. Namun, alih-alih memberi kebahagiaan, fenomena Social Media Anxiety---kecemasan akibat penggunaan media sosial---justru menjadi momok baru dalam kesehatan mental dan hubungan sosial. Kegelisahan ini muncul seiring meningkatnya ketergantungan terhadap validasi digital serta rasa takut tertinggal (Fear of Missing Out atau FOMO).
Social Media Anxiety bukan sekadar isu kecil, melainkan telah memengaruhi kehidupan sosial secara signifikan, baik dalam interaksi tatap muka maupun kesehatan mental. Penelitian dari Nan et al. (2024) menunjukkan bahwa tingginya penggunaan media sosial berkaitan erat dengan meningkatnya tingkat kecemasan sosial dan isolasi.
Apa Itu Social Media Anxiety?
Social Media Anxiety adalah kecemasan berlebihan yang timbul akibat interaksi di media sosial. Kondisi ini ditandai dengan:
- Ketergantungan terhadap validasi online
Individu merasa cemas ketika konten yang dibagikan tidak mendapatkan "like" atau komentar seperti yang diharapkan (Shabahang et al., 2021). Ketergantungan ini mengikis kepercayaan diri dan meningkatkan ketidakpuasan diri. - Fear of Missing Out (FOMO)
FOMO terjadi saat seseorang merasa takut tertinggal informasi atau momen penting yang dibagikan orang lain. Ini memicu kecemasan terus-menerus untuk selalu memeriksa media sosial (Daravit, 2021). - Social Comparison
Tren membandingkan kehidupan sendiri dengan unggahan orang lain menambah kecemasan dan memicu perasaan rendah diri (Verduyn et al., 2012).
Menurut Kuss et al. (2019), fenomena ini diperparah oleh algoritma media sosial yang dirancang untuk mempertahankan atensi pengguna, meskipun dampaknya dapat merusak kesehatan mental.
Bagaimana Social Media Anxiety Mempengaruhi Kehidupan Sosial?
1. Menurunnya Interaksi Tatap Muka
Orang yang mengalami Social Media Anxiety cenderung menghindari interaksi di dunia nyata. Mereka merasa lebih nyaman bersembunyi di balik layar digital. Penelitian Ranabhat dan Marion (2024) menegaskan bahwa meningkatnya penggunaan media sosial secara signifikan mengurangi keterampilan komunikasi interpersonal.
2. Ketergantungan pada Validasi Sosial
Kecemasan muncul ketika individu menggantungkan kebahagiaannya pada respons digital. Misalnya, kurangnya "like" atau komentar memicu rasa cemas dan perasaan tidak berharga (Lin, 2024). Fenomena ini menurunkan kepercayaan diri, menghambat kemampuan untuk berinteraksi dengan percaya diri di dunia nyata.
3. Isolasi Sosial dan Kesepian
Ironisnya, meskipun media sosial menawarkan konektivitas, individu yang mengalami Social Media Anxiety justru merasa lebih kesepian. Studi Twenge et al. (2018) menemukan bahwa tingginya waktu layar berkaitan dengan peningkatan perasaan kesepian dan rendahnya kualitas hubungan sosial.
4. Gangguan Mental Jangka Panjang
Social Media Anxiety, jika dibiarkan, dapat memicu gangguan kesehatan mental yang lebih serius seperti depresi, stres kronis, dan gangguan kecemasan umum. Mller dan Scherer (2022) menyatakan bahwa penggunaan berlebih media sosial berdampak negatif pada perkembangan psikososial, terutama pada remaja.
Hasil Penelitian dan Fenomena Nyata
Dalam studi yang dilakukan, individu dengan tingkat Social Media Anxiety tinggi menunjukkan:
- Penarikan diri dari interaksi sosial di dunia nyata
- Ketergantungan terhadap validasi digital yang memengaruhi emosi sehari-hari
- Menurunnya produktivitas akibat fokus yang berlebihan terhadap notifikasi media sosial
- Gangguan tidur dan stabilitas emosi, seperti yang ditemukan oleh Punkasaningtiyas (2017).
Data ini menunjukkan bahwa Social Media Anxiety tidak hanya fenomena psikologis semata, tetapi juga memengaruhi aspek kehidupan nyata seperti kesehatan mental, produktivitas, dan relasi antarmanusia.
Bagaimana Mengatasi Social Media Anxiety?
Social Media Anxiety dapat diminimalkan dengan beberapa langkah:
- Detoksifikasi Digital
Mengurangi durasi penggunaan media sosial secara berkala membantu mengurangi ketergantungan terhadap dunia maya (Fasoli, 2021). - Fokus pada Interaksi Nyata
Prioritaskan interaksi tatap muka dan hubungan yang lebih autentik dengan keluarga maupun teman. - Bijak dalam Konsumsi Konten
Hindari membandingkan hidup dengan postingan orang lain. Ingat bahwa media sosial sering kali hanya menampilkan sisi "terbaik" dari kehidupan seseorang. - Mengatur Notifikasi
Batasi notifikasi untuk menghindari dorongan kompulsif membuka media sosial.
Menurut American Psychiatric Association (2022), menyadari pola perilaku sendiri adalah langkah awal untuk mengatasi kecemasan akibat media sosial.
Kesimpulan
Social Media Anxiety menjadi pengingat bahwa media sosial, meskipun memiliki banyak manfaat, tetap memiliki dampak negatif yang signifikan. Kehidupan sosial manusia tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh layar digital. Kecemasan yang timbul akibat ketergantungan media sosial harus dihadapi dengan bijak agar tidak merusak kesehatan mental maupun hubungan antarmanusia. Dengan kesadaran dan pengelolaan yang tepat, kita dapat kembali menikmati kehidupan sosial yang lebih autentik dan sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H