Hal tersebut dapat dilihat dari Bentrokan Kartono dengan bosnya, cara orang bergosip tentang Kartono, dan ketidaksetiaan istrinya menjadi sebuah ironi di mana Idrus secara tidak langsung menggambarkan dua jurang kemasyarakatan di Indonesia: (1) mereka yang fanatik pro-kemerdekaan dan (2) mereka yang pro-kemerdekaan (Harendika dkk, 2017, hlm. 139).
Adapun siasat Jepang tersebut dapat dilihat dari percakapan antara orang tua dan anaknya saat dijalan sambil melihat Kartono dengan seragam Heihonya. Yang jika digambarkan bahwa sang orang tua dan anaknya tersebut sadar betul dengan kemampuan Jepang yang dapat membangun semangat rakyat Indonesia untuk dapat mereka manfaatkan bagi keuntungan mereka sendiri.Â
Sedangkan Kartono yang tidak menyadari hal tersebut tidak sadar akan siasat Jepang dan menganggap bahwa ia melakukan hal tersebut untuk negerinya. Selain dari kutipan diatas, adapun repons istri dari Kartono yang mengatakan jika suaminya terlalu naif dan tidak sadar akan tujuan dari Jepang yang sebenarnya.
Referensi/Sumber Bacaan:
Harendika, M. S., Hapsari, D. E., & Nufiarni, R. (2017). The Apathy Headed For Japanese Propaganda in Idrus’ Heiho: A Comparative Study. Language Circle: Journal of Language and Literature, 11(2), 136-144.
Idrus. (2010). Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Jakarta: Pusat Bahasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H