"No problem bos. Aku ngisis sebentar ya", kata Marno menawar. Ngisis itu mencari angin, jeda istirahat untuk menyegarkan diri barang sejenak.
Marno beranjak bangun dari istirahatnya saat keranjang Gito sudah berisi setengah. Ia mengambil sabit dan mulai merumput membantu Gito.
Begitulah dua sahabat itu bahu membahu menyelesaikan tugas mereka merumput. Satu sisi mereka bersaing dulu-duluan memenuhi keranjang rumput, pada sisi yang lain mereka bekerja sama agar yang kalah segera penuh isi keranjangnya. Pada akhirnya, mereka akan pulang sama-sama, dengan keranjang rumput yang sudah penuh semua.
Tradisi bermain Daknang anak-anak kampung pencari rumput itu unik. Ada persaingan yang mereka ciptakan untuk memacu agar lebih giat bekerja dan cepat menyelesaikan tugas. Pemenang tentu saja menikmati kepuasan karena keranjangnya penuh lebih dulu. Dengan keranjang yang penuh duluan, sang pemenang akan punya cukup waktu untuk bersantai sambil menunggu yang kalah memenuhi keranjangnya.
Terdapat etika yang disepakati dan dijalani bersama dalam permainan Daknang ini. Bahwa yang menang tidak boleh pulang duluan walaupun keranjangnya sudah penuh. Ia harus menunggu yang kalah memenuhi keranjangnya, lalu pulang ke rumah bersama-sama. Itu artinya, jika yang kalah lambat memenuhi keranjangnya, maka yang menang pun akan ikut tertahan di tempat, tak bisa pulang duluan.
Dengan etika semacam itu, pemenang Daknang akan turun tangan membantu yang kalah agar lebih cepat memenuhi keranjangnya. Hampir tidak ada anak kampung yang menang bermain Daknang, lalu pulang duluan, atau ongkang-ongkang kaki melihat yang kalah sendirian mengisi keranjang rumput. Pada umumnya mereka, jika menang, akan tetap ikut merumput guna membantu yang kalah menyelesaikan tugasnya.
Sekira setengah jam kemudian, setelah dibantu Marno, keranjang Gito penuh dengan rumput. Mereka tersenyum puas karena tugas hari ini selesai. Kedua remaja itu mengangkat keranjang masing-masing, lalu berjalan pulang. Beduk maghrib berbunyi saat kedua anak kampung itu terlihat mungil di ujung persawahan dekat kampung. Hutan Secepit memperdengarkan lagu sunyi pada rumput hijau, yang mencatatkan gairah persaingan dan kerja sama anak-anak kampung pencari rumput itu.*
Jakarta, Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H