Mohon tunggu...
M. Hanif Dhakiri
M. Hanif Dhakiri Mohon Tunggu... Buruh - Aktivis

Orang biasa yang berusaha menjadi luar biasa untuk orang lain dan bangsa. . . Menteri Ketenagakerjaan RI 2014-2019. Wakil Ketua Umum DPP PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) 2019-2024 Bidang Ideologi dan Kaderisasi. Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKA-PMII). . . Live well, rule well, die well.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perjalanan ke Monas

12 Maret 2020   09:38 Diperbarui: 13 Maret 2020   05:11 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi jalanan Jakarta: pixabay.com/Rayydark

Entah mengapa siang itu segalanya tidak ramah. Matahari bersinar begitu terik, memanggang seantero kota Jakarta dan sekitarnya. Lalu lintas jalan raya super padat. 

Hampir semua ruas jalan yang kulewati sepanjang Depok hingga Monas dipenuhi mobil dan motor yang tak terhitung jumlahnya.  Macet cet! Jalanan dipenuhi debu dan asap kendaraan bermotor. 

Lalu lalang orang begitu riuh, seperti laron-laron menjemput cahaya lampu. Kemacetan Jakarta memang sudah menjadi ciri khas, bahkan terkenal hingga manca negara. Tapi kemacetan, ditambah suasana keseluruhan hari ini, benar-benar gila!

Aku duduk di belakang setir mobil dengan resah. Terlalu sering aku menggerutu dan ngomel melihat ulah para pengendara motor yang serampangan atau sopir metro mini yang ugal-ugalan. 

Tadi, misalnya, seorang pengendara motor menyenggol spion mobilku hingga berubah posisi, dan dia berlalu begitu saja. Brengsek! Jangankan membenarkan posisi spion mobilku seperti semula, berhenti dan meminta maaf saja dia tidak lakukan.

Di ketika yang lain, sebuah metro mini memotong jalur secara mendadak hingga memaksaku menginjak rem mendadak pula. Seisi mobil kaget dan anak-anak menjerit. 

Beruntung badan metro mini itu tidak menyenggol ujung depan mobilku. Secara refleks kubuka jendela mobil dan kumaki-maki sopir metro mini sialan itu. Tapi, seperti yang sudah-sudah, ia berlalu dengan cueknya.

"Yang sabar aja, Nak. Hari masih terang kok. Kalaupun nggak sampai Monas karena macet, Ibu juga nggak apa-apa. Anggap saja belum rezeki Ibu Bapakmu melihat Monas hari ini". Suara perempuan tua di sebelahku meluruhkan amarahku gara-gara sopir metro mini ugal-ugalan itu.

Hari itu aku sedang mengantarkan Bapak dan Ibu ke Monas. Mereka berkunjung ke Jakarta untuk bertemu dengan cucu-cucu kesayangannya. Itu agenda rutin mereka, setidaknya dua kali dalam setahun. 

Lebih dari dua puluh tahun aku tinggal di Jakarta, Bapak Ibu selalu rutin berkunjung. Pada kunjungan kali ini aku baru tersadar saat Ibu meminta diantar melihat Monas. Rupanya belum pernah sekalipun aku ajak mereka ke sana, padahal sudah puluhan kali mereka berkunjung ke Jakarta.

Aku merasa sangat bersalah pada kedua orang tuaku, dan hari itu aku bermaksud membayarnya. Aku izin nggak masuk kerja dan mengantar mereka ke Monas. Istri dan ketiga anakku turut serta. Kebetulan anak-anak pulang cepat dari sekolah hari itu. Tapi malang, namanya hari kerja, kemacetan lalu lintas lagi parah-parahnya. Itu membuat suasana perjalanan kurang menyenangkan bagi semua.

Ketika mobil berhenti di perempatan lampu merah Pancoran, seorang pengamen datang mendekat. Rambutnya gondrong, pakaiannya dekil, tangan dan lehernya penuh tato. 

Di telinga kirinya bergantung sebuah anting-anting bulat cukup tebal. Wajahnya agak sangar tapi sorot matanya tampak pilu. Dengan sebuah gitar mini di tangan ia mendekati mobilku dan mulai genjreng-genjreng menyanyi. Permainan gitarnya lumayan enak tapi suaranya sangat buruk. Nggak layak untuk menyanyi!

Dari kaca mobil bagian tengah, istriku menjulurkan tangannya dan menyorongkan lembaran uang seribu rupiah kepada pengamen itu. Tanpa menyelesaikan lagunya, si pengamen mengambil uang itu, membungkukkan badannya sebagai ungkapan terima kasih, lalu pergi menghilang di antara mobil-mobil yang macet di lampu merah.

"Ngapain pengamen begitu dikasih uang? Tak ada gunanya! Paling-paling nanti dipakai mabuk-mabukan atau bahkan ngedrugs". Aku mengomentari tindakan istriku.

"Nggak papalah, cuma seribu rupiah juga", sahut Istriku.

"Iya sih, cuma seribu. Tapi itu tidak mendidik. Kan kelihatan tadi dia masih muda. Kalau dia mau, pasti dia bisa kerja apa saja yang halal dan lebih baik. Badan juga masih bagus gitu kok. Mungkin karena malas aja dia memilih mengamen. Mana suaranya jelek gitu! Ujung-ujungnya paling mabuk-mabukan", balasku agak kesal.

Dari kaca spion dalam kulihat Istriku terdiam. Ia menepuk-nepuk pantat si bungsu dalam gendongan yang sedang tidur. Di sebelahnya, Bapakku tersenyum mendengar perdebatan kecil kami. 

Di kursi belakang, si sulung dan adiknya pulas tertidur. Mereka kecapekan karena sudah dua jam perjalanan tapi belum juga sampai ke Monas. Perjalanan ke Monas hari itu menjemukan dan menyebalkan.

"Nggak papa, Nak. Memberi itu kebaikan yang menyenangkan. Nggak usah pakai mikir terlalu jauh", kata Bapak memberi nasehat.

"Kita nggak pernah tahu hidup pengamen, gelandangan, atau peminta-minta di jalanan itu seperti apa. Yang penting, saat melihat mereka hati kita tergetar ya beri saja. Nggak usah dipikir terlalu jauh uangnya nanti dibuat apa. Biarkan, terserah mereka. Kita ihlaskan apa yang sudah kita berikan", lanjut Bapak.

"Kita hanya perlu tahu, saat ingin memberi, maka berilah. Jangan ada apapun yang bisa menahan hati kita untuk memberi".

Bapak menepuk lembut pundakku, memberi semangat. Aku fokus menyetir, tapi pikiranku mencerna kata-kata Bapak.

Benar juga yang dikatakan Bapak. Kalau setiap mau memberi kita berpikir terlalu banyak, dan khawatir pemberian kita bisa disalahgunakan, lantas kapan kita akan memberi pada orang lain? 

Bukankah saat terbaik untuk memberi adalah ketika hati bergetar melihat sesuatu atau seseorang yang memerlukan sentuhan? Ya, sentuhan hati itulah yang membuat dunia lebih indah. Bukan karena kebanyakan berpikir!

Aku ingat orang bijak pernah berkata, "Jika tak punya apa-apa, yang kita butuhkan bukan berpikir, tetapi semangat. Sebab jika terlalu banyak berpikir kita justru tidak akan kemana-kemana. Kita tidak akan pernah mulai melakukan sesuatu". Berpikir itu baik dan harus, tapi kebanyakan berpikir untuk melakukan hal positif jatuhnya malah kurang baik.

Memberi pun, seperti kata Bapak, aku kira begitu. Tak perlu banyak berpikir. Jika hati bergetar atau timbul hasrat untuk memberi kepada orang lain, bersegeralah! Jangan sampai hasrat atau getaran hati hilang karena terlalu banyak berpikir. Jalankan saja, dan kita pasti akan merasa lebih bahagia.

Rasanya tak ada yang salah dari perkataan Bapak. Kalau ingin memberi ya beri saja. Kalau tidak ingin memberi ya tidak usah memberi. Yang penting jangan terlalu banyak berpikir. 

Jika terlalu banyak berpikir, jatuhnya justru kita berprasangka. Sudah tidak memberi, malah berprasangka pula. Boleh jadi itu kejahatan yang tak terlihat.

Aku ingat ajaran kiai di pesantrenku dulu. Dengan mengutip sebuah hadits Nabi beliau berkata: "Sebaik-sebaik kalian adalah orang yang (paling bisa) diharapkan kebaikannya  dan (paling sedikit) keburukannya hingga orang lain merasa aman." Jelas kiranya, memberi tak akan membuat kita miskin. Tak akan membuat kita lemah. Sebaliknya, memberi membuat kita lebih kaya, lebih kuat dan lebih bahagia. Dengan memberi, kita bisa menjadi sebaik-baiknya orang.

Setelah lebih dari tiga jam perjalanan dari Depok, kami sampai juga di Monas. Bapak, Ibu, Istri dan anak-anakku segera melebur ke dalam keramaian pengunjung Monas. Hari itu Monas cukup ramai walau tidak seramai akhir pekan atau hari libur. 

Aku senang akhirnya bisa membawa Bapak dan Ibu melihat-lihat Monas bersama cucu-cucu kesayangan. Wajah tua mereka tampak bahagia. Duduk di rerumputan aku memperhatikan keriangan mereka, sambil menikmati kopi gelas bekas air mineral kemasan.

Pikiranku masih saja merenungkan nasehat Bapak di mobil tadi. Lalu kulihat rambut dua anak perempuanku berkibar-kibar di tiup angin saat berlarian. 

Mereka akan segera tumbuh besar, beranjak remaja, lalu menjadi manusia dewasa. Banyak kekhawatiran orang tua terhadap masa depan anak-anak. 

Tapi nasehat Bapak tadi membuatku yakin tentang satu hal. Memberi adalah kebaikan yang akan melahirkan kebaikan lebih banyak, termasuk kebaikan untuk anak-anak kita yang masih panjang jalan hidupnya.

Maret, 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun