Di telinga kirinya bergantung sebuah anting-anting bulat cukup tebal. Wajahnya agak sangar tapi sorot matanya tampak pilu. Dengan sebuah gitar mini di tangan ia mendekati mobilku dan mulai genjreng-genjreng menyanyi. Permainan gitarnya lumayan enak tapi suaranya sangat buruk. Nggak layak untuk menyanyi!
Dari kaca mobil bagian tengah, istriku menjulurkan tangannya dan menyorongkan lembaran uang seribu rupiah kepada pengamen itu. Tanpa menyelesaikan lagunya, si pengamen mengambil uang itu, membungkukkan badannya sebagai ungkapan terima kasih, lalu pergi menghilang di antara mobil-mobil yang macet di lampu merah.
"Ngapain pengamen begitu dikasih uang? Tak ada gunanya! Paling-paling nanti dipakai mabuk-mabukan atau bahkan ngedrugs". Aku mengomentari tindakan istriku.
"Nggak papalah, cuma seribu rupiah juga", sahut Istriku.
"Iya sih, cuma seribu. Tapi itu tidak mendidik. Kan kelihatan tadi dia masih muda. Kalau dia mau, pasti dia bisa kerja apa saja yang halal dan lebih baik. Badan juga masih bagus gitu kok. Mungkin karena malas aja dia memilih mengamen. Mana suaranya jelek gitu! Ujung-ujungnya paling mabuk-mabukan", balasku agak kesal.
Dari kaca spion dalam kulihat Istriku terdiam. Ia menepuk-nepuk pantat si bungsu dalam gendongan yang sedang tidur. Di sebelahnya, Bapakku tersenyum mendengar perdebatan kecil kami.Â
Di kursi belakang, si sulung dan adiknya pulas tertidur. Mereka kecapekan karena sudah dua jam perjalanan tapi belum juga sampai ke Monas. Perjalanan ke Monas hari itu menjemukan dan menyebalkan.
"Nggak papa, Nak. Memberi itu kebaikan yang menyenangkan. Nggak usah pakai mikir terlalu jauh", kata Bapak memberi nasehat.
"Kita nggak pernah tahu hidup pengamen, gelandangan, atau peminta-minta di jalanan itu seperti apa. Yang penting, saat melihat mereka hati kita tergetar ya beri saja. Nggak usah dipikir terlalu jauh uangnya nanti dibuat apa. Biarkan, terserah mereka. Kita ihlaskan apa yang sudah kita berikan", lanjut Bapak.
"Kita hanya perlu tahu, saat ingin memberi, maka berilah. Jangan ada apapun yang bisa menahan hati kita untuk memberi".
Bapak menepuk lembut pundakku, memberi semangat. Aku fokus menyetir, tapi pikiranku mencerna kata-kata Bapak.