Mohon tunggu...
PMM 85 GUNUNGSARI GELOMBANG 10
PMM 85 GUNUNGSARI GELOMBANG 10 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Muhammadiyyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Internet adalah Wabah Hukum

21 Juni 2021   16:58 Diperbarui: 21 Juni 2021   17:17 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menghilangnya kebebasan tampak disebabkan oleh menguatnya peran kepolisian dan penggunaan wewenang yang berlebihan dalam menjaga nama baik institusi pemerintah khususnya presiden. Menurut data Amnesty International Indonesia yang belum dipublikasi, ada 240 orang yang dikriminalisasi karena mengkritik otoritas atau pemerintahan Jokowi selama periode Oktober 2014 hingga agustus 2019.

Tidak tanggung-tanggung, pemidanaan terbanyak adalah mereka - mereka yang dianggap "membenci" dan "menghina" Presiden Jokowi. Jumlahnya 81 dari total 240 kasus atau lebih dari sepertiganya. Dari total 81 tersebut, mayoritas (62 orang) dipidana karena menghina Jokowi di media sosial. Sisanya terjadi lewat medium offline seperti orasi dan demonstrasi. Mayoritas pemidanaan ekspresi di media sosial tersebut berasal dari inisiatif kepolisian yang melakukan pemantauan media siber.

Contoh yang cukup menonjol adalah kasus Sri Rahayu, seorang ibu rumah tangga. Dia divonis penjara selama 1 tahun dan denda 20 juta pada Agustus 2017 karena dianggap telah menyebarkan berita bohong, menyesatkan, dan "menghina" Jokowi lewat unggahan di Facebook. Sebenarnya ada banyak orang lain yang sama dengan Sri karena telah dikriminalisasi dengan tuduhan telah "menghina" Presiden Jokowi. Kasus Sri hanya gambaran puncak gunung es dalam hal kebebasan berekspresi di Indonesia. 

Rencana untuk menghidupkan lagi pasal penghinaan presiden melalui revisi KUHP akan mendorong represi atas kritik pejabat negara menjadi lebih intens. Hal ini tentu akan semakin mengancam kebebasan berekspresi warga.Setidaknya, langkah yang perlu diambil lebih jauh oleh pemerintah adalah mendorong jalur-jalur non-pidana, seperti perdata, sehingga pelaku tidak diganjar hukuman penjara tapi harus membayar denda.

Ditataran prakteknya, status hukum tidak ada kejelasan. Untuk itu para hakim perlu melakukan penemuan hukum dengan cara konstruksi dan interpretasi. Penemuan hukum sesuai dengan kapasitas masing - masing sehingga menimbulkan konteks yang jelas terhadap pelanggaran kesusilaan bisa beda, paradigma berpikir hakim juga berbeda. Sebagai gambaran ancaman hukuman yang menanti atas pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 adalah penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp 750 juta. Sementara, ancaman hukuman atas pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 adalah penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Karenanya tersangka yang dikenakan tuduhan atas pasal ini biasanya akan langsung di tahan oleh pihak kepolisian.

Pada UU ITE pembuat Undang-Undang benar memasukkan pasal - pasal yang ada di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu pasal 310 sampai dengan pasal 321 yang berisi pencemaran nama baik ada enam bentuk penghinaan ke dalam satu keranjang yaitu pasal 27 dan pasal 28, di UU No ITE. Lalu , dalam konteks UU ITE untuk membenarkan unsur menyebarluaskan sangat gampang membandingkannya dengan dunia nyata. Pemaknaan menyebarluaskan atau diketahui banyak orang dengan cara manual dengan medsos sehingga sangat mudah untuk dibuktikan.

Akibatnya banyak masyarakat yang niatnya membantu membuka kesalahan kesahalan yang ada dipublik jadi takut karena adanya ite yang bisa saja menyerang dirinya sendiri setelah mereka hal hal yang berbau sensitif dan memojokkan aparatur negara.

Untuk itu penulis menyarankan kepada siapapun untuk menyiapkan mental dan pikiran ketika ingin melakukan suatu kebaikan karena kita hidup dibawah penguasa semi otoriter. 

Apapun dikontrol dan diatur dengan ketat meskipun membawa embel embel demokrasi nkri harga mati namun kenyataannya nkri sudah mati dan tersisa negara republic pejabat dan pebisnis Indonesia. Penulisan seperti ini mungkin masih banyak salah namun penulis menulis ini dengan tekun dan penuh keyakinan. Meyakinkan para masyarakat Indonesia bahwa kita harus tetap bersuara dan menyuarakan pendapat kita bagaimanapun caranya. Kita harus menjalankan kewajiban dan mendapatkan hak kita sejak kita lahir dibumi pertiwi yang kita cintai ini. Mari bersama -- sama menjalin pemikiran untuk Indonesia yang lebih baik dan maju. Penulis mohon undur diri. Terima kasih!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun