Mohon tunggu...
PMM 85 GUNUNGSARI GELOMBANG 10
PMM 85 GUNUNGSARI GELOMBANG 10 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Muhammadiyyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Internet adalah Wabah Hukum

21 Juni 2021   16:58 Diperbarui: 21 Juni 2021   17:17 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Merekam Pungli Polisi Sama Dengan Pelanggaran UU ITE

Halo selamat siang. Salam sejahtera. Salam demokrasi. Kali ini penulis akan membuat artikel tentang hukum media badut begini salah begitu salah yang berjudul Merekam Pungli Sama Dengan Pelanggaran UU ITE. Indonesia yang merupakan negara hukum, nampaknya pengertian itu hanya saja menjadi predikat yang hanya menjadi predikat tanpa adanya bukti nyata di lapangan. Bagaimana tidak? 

Saat ini masih terjadi hal-hal yang mungkin bisa kita bilang tidak harus terjadi. Masih banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang tidak sesuai dengan porsi hukum yang sebanding dengan kesalahan dibuat oleh pelaku. 

Setiap dari kita memiliki harapan yang pastinya ingin memberikan dan mendapatkan yang terbaik jika kita berbicara mengenai tentang negri. Jika kita menoleh kebelakang sebentar, 2-5 tahun belakangan sudah adanya pelanggaran-pelanggaran yang pelakunya tidak mendapatkan porsi hukuman yang setimpal apalagi yang bukan pelaku malah menjadi pelaku.

Pada tahun 2018 adanya sebuah berita yang memberitakan mengenai adanya seseorang yang merekam mengenai dugaan anggota polisi di Palembang melakukan pelanggaran yang berupa pungli. Nampaknya, memberitahukan slogan tentang pungli yang banyak terpapang di setiap tempat instansi negara hanya menjadi slogan yang menjadi angin lalu saja. Bagaimana tidak? ketika kita ingin memperpanjang Surat Izin Mengemudi (SIM) di salah satu kantor SATPAS yang ada di Jakarta. 

Terpangpang dengan jelas sekali di depan kantor tersebut yang memamerkan "Stop Pungli!" namun tampaknya itu hanya menjadi slogan angin lalu saja, kenapa? Karena masih adanya oknum-oknum yang menawarkan jasa untuk mengurus perpanjangan SIM secara instan, padahal oknum tersebut menawarkan jasa itu tepat di samping banner yang membahas mengenai tentang stop pungli.

Banyaknya kejadian-kejadian serupa yang kadang jika kita ingin melaporkan hal tersebut namun dengan proses yang sangat berbelit dan adanya normalisasi terkait fenomena itu oleh lingkungan oknum tersebut. Apalagi dengan adanya UU-ITE ini membuat orang-orang yang ingin mengkritisi sebuah sistem yang telah dibuat oleh pemerintah namun takut akan bahaya yang mengintai yaitu, UU-ITE.

Masyarakat Indonesia pengguna media sosial atau Medsos harus lebih memilih - milih dalam menggunakan media sosial untuk mengekspresikan kebebasan berpendapat agar tidak terjerat kasus pidana. Sebab UU ITE ini akan mudah memidanakan kasus pencemaran nama baik, penghinaan dan ujaran kebencian. 

Dalam catatan Treviliana Eka Putri, Manager Riset Center For Digital Society, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta melansir data dari safenet.or.id kasus pidana menggunakan Undang-Undang No 19 Tahun 2016 Jo UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hingga 30 Oktober 2020, mencapai 327 kasus. 

Berdasarkan perincian data dari Safe.net, dari 325 kasus pidana di UU ITE, sebanyak 208 orang dijerat dengan pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik.  Sebagai catatan pasal Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 Jo UU No. 11 Tahun 2008 ini selengkapnya berisi : "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.". Selain itu, sebanyak 78 kasus dijerat dengan Pasal 28 ayat (3) UU ITE tentang ujaran kebencian.

Dalam sebuah riset, beberapa indeksasi kasus jurnalis yang terjerat UU ITE. Terdapat sekitar 350 putusan terkait pejurnalis yang terjerat hukum siber. Selain itu kasus personal jurnalis, adapula beberapa Pernyataan Pernilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers mengenai pengaduan tentang pelanggaran kode etik terhadap beberapa media online atau daring. Lalu dalam  media yang mendapat PPR, seperti tribunsatu.com; bogorinews.com; riauinvestigasi.com dan lainnya yang terkena pasal kode etik jurnalistik.

Menghilangnya kebebasan tampak disebabkan oleh menguatnya peran kepolisian dan penggunaan wewenang yang berlebihan dalam menjaga nama baik institusi pemerintah khususnya presiden. Menurut data Amnesty International Indonesia yang belum dipublikasi, ada 240 orang yang dikriminalisasi karena mengkritik otoritas atau pemerintahan Jokowi selama periode Oktober 2014 hingga agustus 2019.

Tidak tanggung-tanggung, pemidanaan terbanyak adalah mereka - mereka yang dianggap "membenci" dan "menghina" Presiden Jokowi. Jumlahnya 81 dari total 240 kasus atau lebih dari sepertiganya. Dari total 81 tersebut, mayoritas (62 orang) dipidana karena menghina Jokowi di media sosial. Sisanya terjadi lewat medium offline seperti orasi dan demonstrasi. Mayoritas pemidanaan ekspresi di media sosial tersebut berasal dari inisiatif kepolisian yang melakukan pemantauan media siber.

Contoh yang cukup menonjol adalah kasus Sri Rahayu, seorang ibu rumah tangga. Dia divonis penjara selama 1 tahun dan denda 20 juta pada Agustus 2017 karena dianggap telah menyebarkan berita bohong, menyesatkan, dan "menghina" Jokowi lewat unggahan di Facebook. Sebenarnya ada banyak orang lain yang sama dengan Sri karena telah dikriminalisasi dengan tuduhan telah "menghina" Presiden Jokowi. Kasus Sri hanya gambaran puncak gunung es dalam hal kebebasan berekspresi di Indonesia. 

Rencana untuk menghidupkan lagi pasal penghinaan presiden melalui revisi KUHP akan mendorong represi atas kritik pejabat negara menjadi lebih intens. Hal ini tentu akan semakin mengancam kebebasan berekspresi warga.Setidaknya, langkah yang perlu diambil lebih jauh oleh pemerintah adalah mendorong jalur-jalur non-pidana, seperti perdata, sehingga pelaku tidak diganjar hukuman penjara tapi harus membayar denda.

Ditataran prakteknya, status hukum tidak ada kejelasan. Untuk itu para hakim perlu melakukan penemuan hukum dengan cara konstruksi dan interpretasi. Penemuan hukum sesuai dengan kapasitas masing - masing sehingga menimbulkan konteks yang jelas terhadap pelanggaran kesusilaan bisa beda, paradigma berpikir hakim juga berbeda. Sebagai gambaran ancaman hukuman yang menanti atas pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 adalah penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp 750 juta. Sementara, ancaman hukuman atas pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 adalah penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Karenanya tersangka yang dikenakan tuduhan atas pasal ini biasanya akan langsung di tahan oleh pihak kepolisian.

Pada UU ITE pembuat Undang-Undang benar memasukkan pasal - pasal yang ada di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu pasal 310 sampai dengan pasal 321 yang berisi pencemaran nama baik ada enam bentuk penghinaan ke dalam satu keranjang yaitu pasal 27 dan pasal 28, di UU No ITE. Lalu , dalam konteks UU ITE untuk membenarkan unsur menyebarluaskan sangat gampang membandingkannya dengan dunia nyata. Pemaknaan menyebarluaskan atau diketahui banyak orang dengan cara manual dengan medsos sehingga sangat mudah untuk dibuktikan.

Akibatnya banyak masyarakat yang niatnya membantu membuka kesalahan kesahalan yang ada dipublik jadi takut karena adanya ite yang bisa saja menyerang dirinya sendiri setelah mereka hal hal yang berbau sensitif dan memojokkan aparatur negara.

Untuk itu penulis menyarankan kepada siapapun untuk menyiapkan mental dan pikiran ketika ingin melakukan suatu kebaikan karena kita hidup dibawah penguasa semi otoriter. 

Apapun dikontrol dan diatur dengan ketat meskipun membawa embel embel demokrasi nkri harga mati namun kenyataannya nkri sudah mati dan tersisa negara republic pejabat dan pebisnis Indonesia. Penulisan seperti ini mungkin masih banyak salah namun penulis menulis ini dengan tekun dan penuh keyakinan. Meyakinkan para masyarakat Indonesia bahwa kita harus tetap bersuara dan menyuarakan pendapat kita bagaimanapun caranya. Kita harus menjalankan kewajiban dan mendapatkan hak kita sejak kita lahir dibumi pertiwi yang kita cintai ini. Mari bersama -- sama menjalin pemikiran untuk Indonesia yang lebih baik dan maju. Penulis mohon undur diri. Terima kasih!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun