Tapi produsen mengikuti cara berpikir pasar. Kalau tidak begitu ya rugi banget. Walau kadangkala kita memang harus belajar menciptakan pasarnya dengan yang khas tersendiri. Aku mikirnya video gitu kok menarik dan banyak yang nonton ya? Apakah algoritma yang jadi penyebab. Jelas untuk saat ini facebook hanya 5% asyik twitter 30% youtube 50% sisa adalah sosmed lain-lainnya.
Youtube tetap asyik soalnya emang verbal setipe dengan kita yang notabene masih pendengar.
Pertanyaan lagi terus gunanya apa ya sekolah bertahun-tahun tapi tidak tahu arti budaya malu? Pertanyaan lainnya sekolah nambah pinter apa bodoh si sebenarnya?
Malu membullying misal, malu bertindak jahat misal, dan malu-malu lainnya. Jangan cuma ngaku punya kemaluan tapi rasa malunya kagak. Menurutku ini agak krisis moralitas. Kalau boleh dibilang gitu. Sayangnya aku ndak bisa menghindari. Makanya manusia selalu minta jalan yang lurus. Budaya jawa kita runtuh hampir rata. Ndak tahu mungkin 50 tahun lagi wayangan itu tiada. Dan yang rugi ya tentu lagi-lagi turunan.
Satu-satunya jalan memang harus bersikap. Sikap yang jelas. Jadi kalau ke lumpur bahkan sekotor-kotornya tempat di dunia kita punya sikap yang tegak. Tapi itu malah yang hilang. Media sosial adalah tempat mengekspresikan diri dan akan lebih baik tidak sampai mengorbankan privasi.
Suhanggono
Catatan Lama
Sedang berada di Cilacap 27 Maret 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H