Mohon tunggu...
Suhanggono
Suhanggono Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menggantikan akun yang lama

Seorang petualang dunia yang sedang bergembira.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kapok Beragama Kapok Berbudaya Bebaskan Jeruji Keduanya

27 Maret 2021   10:19 Diperbarui: 27 Maret 2021   10:24 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita klasik memang mengajak berpikir keadaan lebih jauh kedepan. Sederhananya sikap malu aja untuk menjadikan sebuah perasaan kiya udah mulai hilang apalagi dosa. Sudah lupa jadi apakah sekarang agama sudah tak penting? Oleh karena sudah hilang dari peredaran nafas yang sengaja dihilangkan. Manusia yang ada sekarang hanya seolah-olah masih beragama. Dalam bahasanya agama bisa disebut sebagai kaum munafik.

Masih terus bertanya gimana ya orang beragama menghindari sebuah perasaan dosa? Sedangkan perasaan malu saja sudah luntur hancur. Malu itu sikap sederhana tapi cerminan daripada merasa dosa itu jadi bebayang diri. Perputaran hidup yang makin lama makin membuat pelupa manusia.

Hal sederhana dalam percakapan itu adalah cerminan. Aku membayangkan dengan sosial media kerjaan pencatat amal akan lebih dipermudahkan. Tinggal disuruh nonton apa-apa yang sudah menetap abadi sebagai jejak digital. Atau sebenar-benarnya ya agama itu tak penting lagi dalam kehidupan sehari-hari yang penting itu pancasila dalam berwarga negara. Agama ada namun kejahatan pun melimpah. Agamanya suci penganutnya mengotori. Kenapa ya? Karena selalu tegang dalam mengaplikasikan agama di kehidupan.

Pertanyaanku paling dasar sudahkah kita beragama atau hanya merasa beragama atau hanya ketimbang ketahuan tak beragama? Aku rasa duna mulai tua sekali. Kejahatan saja sah menjadi industri dunia yang menjanjikan keuntungan. Perang, seksual, politik tiga hal yang sebenarnya di cap suci oleh Tuhan tapi di obrak-abrik kebebasan berpikir oleh manusia. Perebutan kebebasan itu yang tidak terbendung lagi. Seksual : pornografi, pornoaksi label-label yang sangat menyudutkan. Perang : kebencian hingga perpecahan antar individu. Politik : haus kekuasaan, KKN yang merajailela. Ambilah tiga sampel tersebut. Apakah di sana masih mempergunakan ukuran malu untuk bertingkah, berpikir dan apalagi berucap?

Kok rasa-rasanya ndak sama sekali hilang sepenuhnya. Apalagi sekarang dunia pergaulan bebas sekali. Bisa bergaul dengan siapa saja. Tentu dengan budayanya yang berbeda-beda. Barangkali sika gii akan dinggap aneh jika diterapkan di daerah yang lain. Budaya malu yang paling sederhana yaitu berani melanggar nerobos lampu merah. Sebab itu hak orang lain disana. Kemudian apakah agama masih penting? Silakan analisa sendiri. Menurutku penting kalau menerapkannya tanpa tegang tapi dengan menari lembut. Agama harusnya melembutkan akal supaya bisa berpikir. Satunya mematikan Tuhan, satunya mematikan filsafat. Oke. Sisikan agama. Kalau perlu coret tebal dan hilangkan saja. Kita bicara unggah-ungguh sopan santun, apakah masih digunakan? Analisanya sama diatas. Masih adakah? Menurutku itu tadi seolah-olah ada. Kita periksa apapun akan berujung gitu aja. Jadi sebenarnya masihkah manusia dengan bertahan atas agama minimal budayanya? Menurut sudah tipis. Hampir hilang.

Benar internet membuka aliran segala macam. Buruk baiknya tergantung pada diri kita. Aku kok percaya kalau privasi manusia paling intim sekalipun sebenarnya sudah mulai hilang. Semenjak kenal rasa-rasanya dunia memang lebar panjang dan luas. Semua ada tinggal kita pungutin satu-satu.  Youtube misal diambil sebagai sampel penelitian. Banyak berbagai tontonan yang menurutku sudah dalam tahap kacau yang mana mungkin televisi tayangan ternyata jumlah penontonnya ratusan ribu bahkan sampai jutaan. Misalnya dalam prank seseorang atau memberikan pertanyaan yang berkaitan dengan kepribadian yang intim yaitu seksualitas.

Bandingkan dengan channel agama, budaya atau ilmu pengetahuan, sains misalnya mana bisa stabil ditonton dengan jutaan penonton. Kayaknya yang selalu trending topic itu hal yang menurutku remeh temeh. Belum sampel sosmed lainnya. Mungkin sekarang inilah jaman fitnah itu terjadi. Mungkin lho ya. Mulai dari mereka banyak yang berani menhina Tuhan, Nabi, Presiden hingga pasangan bahkan keluarganya sendiri. Sesama manusia pun tidak ketinggalan.

Menurutku bukan berani tapi nekat dan terlalu nekat. Kehilangan akalnya. Gitu kok diurusin? Cek paling sederhana sebenarnya dengan buka grup sosmednya disitu salah benar sebenarnya tidak ada Cuma hasil dari ngototnya paling benar. Makanya benar kalau mau diskusi asyikan sambil ngopi. Sekarang masih model urusan cinta, bercinta puncaknya pencarian tuhan, berdebat spiritualisme bahkan soal bertuhan lewat via internet (sosial media).

Ingat ya rasa teks dengan verbal rasanya jelas beda. Kita dipaksa membaca teks. Oleh baca buku saja tidak pernah atau jarang dan terlanjur manusia pendengar (verbal). Soal privasi, kesehatan jiwa itu akan menjadi masalah besar sekian tahun yang akan datang. Sudah beredar tidak selalu bisa dihilangkan dari jejak digital. Menjadi sampah masih bisa dilempar kesana kemari oleh orang lain.

Kalau boleh balik ke awal untuk kenalan sosmed aku ndak mau kenalan. Sama sekali tidak mau. Andai bisa memutar waktu. Berasa banget tidak amannya. Hari-hari ini misalnya politik mengguncang negeri. Tangan udah gatal untuk berkomentar. Dan pasti jika tak hati-hati akan berakibat fatal.

Tapi produsen mengikuti cara berpikir pasar. Kalau tidak begitu ya rugi banget. Walau kadangkala kita memang harus belajar menciptakan pasarnya dengan yang khas tersendiri. Aku mikirnya video gitu kok menarik dan banyak yang nonton ya? Apakah algoritma yang jadi penyebab. Jelas untuk saat ini facebook hanya 5% asyik twitter 30% youtube 50% sisa adalah sosmed lain-lainnya.

Youtube tetap asyik soalnya emang verbal setipe dengan kita yang notabene masih pendengar.

Pertanyaan lagi terus gunanya apa ya sekolah bertahun-tahun tapi tidak tahu arti budaya malu? Pertanyaan lainnya sekolah nambah pinter apa bodoh si sebenarnya?

Malu membullying misal, malu bertindak jahat misal, dan malu-malu lainnya. Jangan cuma ngaku punya kemaluan tapi rasa malunya kagak. Menurutku ini agak krisis moralitas. Kalau boleh dibilang gitu. Sayangnya aku ndak bisa menghindari. Makanya manusia selalu minta jalan yang lurus. Budaya jawa kita runtuh hampir rata. Ndak tahu mungkin 50 tahun lagi wayangan itu tiada. Dan yang rugi ya tentu lagi-lagi turunan.

Satu-satunya jalan memang harus bersikap. Sikap yang jelas. Jadi kalau ke lumpur bahkan sekotor-kotornya tempat di dunia kita punya sikap yang tegak. Tapi itu malah yang hilang. Media sosial adalah tempat mengekspresikan diri dan akan lebih baik tidak sampai mengorbankan privasi.

Suhanggono

Catatan Lama

Sedang berada di Cilacap 27 Maret 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun