Mohon tunggu...
Nadim AlLande
Nadim AlLande Mohon Tunggu... Penulis - Study Sosiology

Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik Raja Haji Tanjungpinang. Bercita-cita ingin abadi, dengan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dependensi

26 Maret 2020   00:18 Diperbarui: 26 Maret 2020   00:21 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Nadim Al-Lande

Hastag lockdown sering kali muncul di tweter dan menjadi viral. lantas penuh perdebatan, pro-kontra antara masyrakat yang hendak segera melockdown dan yang tidak ingin segera tergesa-gesa lockdown dengan berbagai alasan dari masing-masing keduanya. Epidemi Covied 19 Sebagai fenomena bersama, perdebatan yang semacam itu, tidak lah salah. Lantas bagaimanah sikap pemerintah?

Sikap pemerintah sampai saat ini masih tetap mempertahankan untuk tidak tergesa-gesa dengan kebijakan lockdown, meski begitu Social Distancing, work from home(WFH), cuci tangan dan menjaga kebersihan lainya menjadi kebijakan nasional yang tetap saja tidak bisa mengurangi epidemi yang berasal dari negeri Wuhan, Cina.

Virus corona bukanlah virus yang mudah untuk di tangulangi oleh banyak Negara dunia, apa lagi Indonesia. Bahakan kebijakan lockdown diterapkan pertama kali di wuhan oleh Negara cina paska meningkatnya warga wuhan yang terinfeksi virus corona, disusul juga lockdown oleh beberapa Negara yang jumlah terinfeksinya paling banyak terjangkiti virus tersebut. 

Sikap pemerintah Indonesia tetap tidak menerapkan kebijakan lockdown meski perlahan-lahan terkesan seperti lockdown. Lockdown sendiri adalah mengunci masuk keluar dari suatu wilayah atau daerah atau Negara.

Di indoneisa kebijakan lockdown agak sedikit berat bila diterapkan, namun juga bila tidak diterapkan maka ada keumungkinan akan makin bertambah penyebaran virus covid-19. Tentu kedua diantara pilihan tersebut memerlukan kebijaksanan yang berhati-hati. 

Dus, dengan pertimbangan banyak hal untuk pemerintah tidak menerapkan lockdown secara langsung, salah satunya yakni ketidaksiapan warga Negara dalam survive(bertahan hidup) dari ancaman krisis ekonomi, yang perlahan seperti kita tau tanpa lockdown pun kian terasa sulitnya. 

Sinisime pun terjadi akibat kebijakan yang diambil pemerintah terkesan seolah-olah agak melindungi investasi, lantaran terkesan tidak menerapkan kebijakan lockdown.

Ketidaksiapan?
 "Kapitalis akan hancur dengan sendirinya"-Karl Marx.

Ungkapan Marx tersebut tidak berati dengan pandemik virus corona lah atau virus lainya yang mampu menumbangkan kapitalis, melainkan maksud dari analisis Marx "karna ketamakan kapitalis itu sendiri'. 

Namun kini rontoknya kapitalis perlahan bukan karna ketamakan atau ketimpangan klas atau revolusi lainya, melainkan asbab wabah penyakit pademik virus covid-19 yang mampu merontokan sistem perekonomian Negara manahpun.

Moderenitas menurut Yuval dalam bukunya berjudul Homo Deus semacam sebuah perjanjian, "moderenitas adalah sebuah perjanjian". Lantaran menurutnya manusia setuju untuk menyerahkan makna ditukar dengan kekuasan. 

Hal ini bisa kita lihat bagaimanah sikap manusia modern yang cenderung mengalami perubahan sosial yang sangat drastis dan sulit dicegah, terutama sikap dependensi (ketergantungan) atas kekuasan teknologi terhadap manusia.

Adapun yang menjadi acuan dependensi tidak terlepas dari pandangan Marx, bagaimanah Marx melihat hubungan antara penguasaan(pemilik modal) dan terkuasainya kaum lemah, sebagaimanah disebutnya kaum borjuasi menguasai alat produksi yang mengeksploitas terhadap kaum yang tidak memiliki alat produksi(proletar). 

Hal ini sama halnya ketergantungan yang berlebihan, secara tidak sadar yang akan menghilangkan rutinitas makna dari hidup sejatinya. Bahakan dihari depan hal itu pasti akan terus terjadi.

Menurt Yuval: "...manusia tidak bisa hidup selama-lamanya, mereka tidak bisa menghindari penyakit, dan mereka tidak bisa melakukan apa pun sesuka hati..." (hal 230). Bahkan menurutnya lagi "...jika kita menginvestasikan uang dalam riset, maka terobosan saintifik akan mengakselerasi kemajuan teknologi. Teknologi baru akan menggerakkan pertumbuhan ekonomi, dan sebuah ekonomi yang tumbuh akan memberikan banyak uang lagi untuk riset. Dengan stiap dekade yang berlalu, kita akan menikmati lebih banyak makanan, kendaran lebih cepat, dan pengobatan yang lebih baik. Suatu hari pengetahuan kita akan begitu besar dan teknologi akan begitu maju sehingga kita akan meramu jamu muda abadi, jamu kebahagian sejati, dan obat-obatan apa pun yang mungkin kita ingginkan...(hal 231)".

Hal yang patut disesali, mengenai wabah pandemic corona dengan angaran riset yang terbilang rendah sangat lah tidak mungkin untuk Indonesia mampu keluar dari penyelesaian wabah virus corona secara bedikari seperti yang dikatakan Yuval diatas. 

Terkecuali Indonesia kian betah menjadi bangsa yang dijajah ekonominya dengan cara-cara konsumtif obat-obataan dari cina atau Negara asing lainya. 

Bagi Negara-negara yang terjangkiti wabah pandemic, krisis ekonomi yang kian tak terelakan (merosotnya), menjadi peluang tersendiri bagi para para rentenir untuk memberikan pinjaman uang. 

Sebagaimanah kasus Ebola yang meletus di Afrika Barat pada tahun 2014, menurut anda apa yang terjadi pada saham-saham ini farmasi yang sibuk mengembangkan obat dan vaksin anti-Ebola? 

Saham-saham itu meroket. Saham Tekmira naik sampai 50 persen dan BioCryst naik 90 persen. Sebagaimanah  Menurut penulis buku Homo Deus Yuva Noah Harari itu "bagi bursa saham, bahkan sebuah epidemic adalah peluang bisnis".

Tantangan,Kesiapan dan kesunguhan bangsa indonensia di massa depan perlu dipertanyakan kembali, dilihat dari bagaimanah orientasi Negara yang kian melenceng dari cita-cita dan tidak tentu arah. Adapun ideology yang dianggap pemersatu, kian hari kian semu dan utopis.  

Pertanyaan sederhana yang mesti direnungkan: apa tujuan kita bernegara untuk hari ini yang cocok dan berdampak untuk massa depan ? haruskah bangsa Indonesia meracik kembali cita-cita dan tujuan bernegara untuk massa hadapan? akan kah Indonesia menjadi Negara maju, ditengah ketergantungan pasar dari kapitalis-globalisasi yang kian meruncing? Masih Adakah pemimpin di negeri ini yang masih sadar, degan semangat rasa cinta tanah air yang kian hari makin sulit ditemui?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun