Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Badut

10 Januari 2025   02:28 Diperbarui: 10 Januari 2025   02:28 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti kesan pertama bagiku ketika dua tahun yang lalu bertemu dengan badut-badut di kolong jembatan yang tak jauh dari tempat tinggalku saat acara pergantian tahun. Entah siapa yang menyewa tiga badut tersebut. Tiga badut yang terlihat begitu riang menyenangkan. Menari dan berlompatan sesekali bertepuk tangan. Bermain dan bercanda dengan anak-anak miskin di kolong jembatan.

Salah satu dari tiga badut tersebut memberiku sebatang coklat kecil serta tiga buah permen berwarna merah dan biru. Ia juga memberikan hal yang sama kepada teman-temanku yang lainnya. Itu adalah coklat dan permen pertamaku di malam pergantian tahun. Hatiku begitu senang begitu gembira. Seiring dengan tawa riang orang-orang yang ramai saat itu. Suara kembang api pecah di langit, bersahut-sahutan. Semarak malam penuh warna berkilauan. Bau asap daging panggang dan jagung bakar. Musik yang terus mengalun membelah malam. Badut-badut itu terus melompat-lompat seakan-akan mengajak kami untuk terus bergembira bersama merayakan pergantian tahun.

Tidak disangka salah satu badut yang paling besar menghampiriku kemudian menggenggam tanganku dengan lembut. Seolah-olah ia hendak berbicara kepadaku. Aku sebenarnya takut namun ketika aku menoleh ke arah Emak yang tak jauh dari hadapanku, emak mengangguk seolah mengisyaratkan sesuatu tak akan terjadi apa-apa. Mungkin juga karena umurku masih lima tahun saat itu dan tak paham bicara dengan badut. 

Nanar tatapan matanya begitu tajam ke arah jantungku. Entah keberanian datang dari mana tiba-tiba tangan kecilku membalas pelukannya dengan lembut. Ku sentuh hidung bulat merahnya dengan gemas. Ia diam saja. Aku beranikan diri meraba seluruh wajahnya ia pun berkedip lalu mengejutkanku. "Ciluuuuuk Baaaa". Aku tertawa untuknya. Iapun tertawa untukku. Maka kami tertawa bagi hidup dan waktu. Kesederhanaan kebahagiaan yang nyatanya cepat berlalu. Namun perayaan tahun baru dua tahun lalu masih tersimpan di jantungku. Selalu ku kenang.

"Tidak perlu kamu ke rumah badut nak, badut bisa datang ke rumahmu bila diundang seperti di acara ulang tahun atau di hari kenaikan kelas. Tapi mengundang ia datang ya mesti pakai uang. Mana mau badut datang ke tempat kita kalau tidak ada uangnya. Badut juga perlu uang, perlu makan." Begitulah kira-kira ucapan laki-laki tua itu kepadaku. 

Bapak yang seolah acuh tak acuh. Laki-laki tua yang sehari-harinya jarang terlihat memakai baju. Laki-laki dengan wajahnya yang keras seakan telah lama dihajar waktu. Dan semenjak Emak pergi baru aku merasakan getar suaranya yang parau dan dalam itu terasa berat menyiksa di telinga. Sebegitu kerasnya kah hidup yang dijalaninya?

"Tapi apakah bapak tahu di mana rumah badut?" Aku pun bertanya kembali. Laki-laki tua itu tak menjawab hanya matanya saja melirik ke arahku lalu ia meneruskan kembali pekerjaannya menguliti label-label plastik botol-botol bekas. Tapi masalahnya aku tak tahu kapan hari dan tanggal ulang tahunku. Laki-laki dan perempuan tua itu tak pernah memberitahukan kapan pastinya aku lahir. Aku juga tak mungkin naik kelas sebab aku tak bersekolah. Keberadaanku bersamanya juga simpang siur. Tak ada catatan khusus mengenai data pribadiku yang mereka simpan.

Mereka hanya bilang aku lahir saat banjir bandang melumpuhkan kota besar ini antara bulan Desember atau Januari. Tahunnya mereka lupa begitu juga tanggalnya. Sebab kota ini tengah dilanda bencana. Lagi pula kata mereka tak perlu ingat tahun atau tanggal apalagi hari untuk bisa hidup seperti yang mereka lakukan saat ini. Bukan orang kantoran, bukan pegawai pemerintahan cuma pemulung sialan yang tak dapat uang gaji tiap bulan. Untuk apa hari dan tanggal. Untuk apa bulan dan tahun. Toh bencana dan kesenangan tak kenal itu semua. Bersyukurlah. Kamu masih bisa hidup di dunia meski melarat dan menyakitkan.

Seperti biasa badut-badut itu kembali datang pada awal bulan minggu pertama. Badut-badut itu datang bersama anak-anak mahasiswa yang sedang mengadakan sekolah gratis sekaligus kampanye untuk pemberantasan buta huruf bagi anak-anak yang kurang mampu yang tinggal di kota besar. 

Aku bertanya dalam hati apa mungkin mereka yang mengundang badut-badut itu datang dua tahun lalu di acara pergantin tahun. Entahlah. Tetapi yang jelas kedatangan badut-badut di sini sangat menghibur dan menyemarakan suasana belajar. Aku yang tak bisa mendapatkan pendidikan formal di sekolah nyatanya dapat menimba ilmu. Menulis, membaca serta berhitung dasar di sekolah gratis ini.

Bapak yang pertama kali mengantarkan aku untuk ikut sekolah gratis setelah mendapat informasi dari temannya kalau tiap minggu di hari Sabtu ada kegiatan belajar mengajar dari anak-anak mahasiswa serta komunitas perduli anak-anak kota. Lagi pula katanya sebelum emak pergi menghadap Tuhan emak mewasiatkan agar keinginannya untuk menyekolahkan aku bisa terwujud. Sebenarnya bapak pernah bilang sebulan setelah emak dimakamkan kalau ia tidak akan mampu mencari uang seperti dulu lagi. Tidak akan sanggup menyekolahkanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun