Aku membayangkan dirimu ditengah lautan saat gelap menyelimuti dan angin mengobrak-abrik haluan.Â
Bintang-bintang muram tak menunjukkan jalan untuk perahu kayu yang penuh muatan.
Masih menyala api di dalam dadamu sedikit redup memang sebab samudera yang luas telah menelannya sebagian.
Barangkali juga nyala api puluhan orang yang berlayar bersamamu dengan kerongkongan yang gatal dan perut kelaparan.
Sementara daratan masih jauh, tanah kelahiran tertinggal di belakang.
Mimpi-mimpi di atas kepala dihantam ombak. Harapan dan penantian seperti taruhan hidup yang susah ditebak.
Dilahirkan di negeri yang penuh konflik tanpa masa depan sama halnya kebimbangan tanpa harapan menuntun jalannya kematian.Â
Tidakkah hal tersebut menyesakkan. Sementara doa-doa mengalir menjadi air mata kepedihan.
Dan keringat adalah darah kering yang mengental. Di lambung. Di jantung. Di hati yang dirundung murung.
Oleng. Ombak pula terlalu besar. Perahu kayu gemetar tak kuat menahan beban.Â
Maka karang-karang didasar lautan menunggu kabar kesedihan.Â