Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Banjir Selesai

16 Mei 2024   01:57 Diperbarui: 16 Mei 2024   01:57 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan deras sore tadi meninggalkan genangan air setinggi paha orang dewasa, akibatnya gang sepanjang hampir lima puluh meter dengan lebar dua meter tersebut sekejap berubah menjadi kolam air nan keruh. Hal ini sudah menjadi langganan tiap tahunnya bila musim hujan tiba. Khususnya bila curah hujan sedang tinggi-tingginya antara bulan Desember sampai Februari.

Mesti ada bocah-bocah kecil menenggelamkan seluruh tubuhnya di kolam dadakan tersebut sambil tertawa gembira. Sampah-sampah plastik dan daun-daunan mengambang berenang bersama mereka. Bocah-bocah itu tak perduli betapa menjijikan kandungan air tersebut dapat menimbulkan penyakit. Namun tak ada satupun orang dewasa yang mencegah kesenangan mereka. Tak ada.

Masih dari lantai atas rumahku. Ku dengar suara benda saling beradu, sangat ku kenal sekali suara semacam itu sering terdengar bila hujan turun dengan lebatnya. Benar saja, terlihat mbah Pardi sibuk membetulkan papan tanggul depan pintu rumahnya. Hal tersebut sudah biasa di sini, mereka yang rumahnya terdampak banjir pasti mengalami hal serupa yang di alami mbah Pardi.

Mbah Pardi salah satu tetanggaku yang paling parah terdampak banjir boleh jadi karena rumah mbah Pardi langsung bersebelahan dengan kali. Debit air di dalam rumahnya bisa sampai setinggi betis orang dewasa. Itu artinya air kali yang meluap ke jalan telah melewati papan tanggul miliknya yang tingginya sekitar 50cm.

Masih ku perhatikan lelaki yang hanya mengenakan kaos singlet dan celana pendek itu. Sesekali ia menguras air dari dalam rumahnya menggunakan sekop sampah. Wajahnya terlihat lelah. Tidak ada satu pun orang yang membantu dirinya. Tidak ada orang juga di dalam rumahnya selain dirinya. Orang-orang yang tinggal di sini bila datang banjir seperti tidak kenal satu sama lain mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Semua kebagian air banjir.

Tetapi, tidak tega juga aku melihatnya lama-lama mendapat susah. Lelaki yang terkenal humoris itu tidak lagi nampak otot kekarnya selain keriput kulit melekat di tulang. Semakin payah dan tak berdaya ia menghadapi banjir yang datang kali ini.

"Mbah, memangnya airnya mampir ke dalam rumah".

"Ndelok kuwi opo iku".

"Ya kalo gitu, suguhin kopi lah mbah, tamu kok di cueki".

"Ndasmu".

Aku tertawa cekikikan sambil meraih sapu lidi yang menyandar di depan pintu rumahnya. Di dalam rumah miliknya yang sederhana itu kecipak air di atas mata kaki membelai lembut kaki-kaki meja dan kursi kayu jati. Beberapa perabotan di tumpuk di salah satu kursi kayu miliknya. Tikar pandan alasnya rebahan di lantai ikut di evakuasi di atas lemari pakaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun