"Yo ben lah asal tidak segalanya merepotkan".
Sambil menunggu air surut sepenuhnya dalam rumah mbah Pardi kami nikmati secangkir kopi dan kehangatan yang telah lama terjalin.
********
Sudah dua hari ini aku tidak melihat Mbah Pardi semenjak rumahnya kebanjiran itu. Pensiunan angkatan darat itu setelah di tinggal pergi istrinya menghadap Ilahi memang lebih sering mengunci diri di dalam rumah. Pintu rumahnya yang biasa terbuka 24 jam kini hanya terbuka di malam Minggu saja. Suara musik campur sari yang tak pernah berhenti mengalun dari dalam rumahnya kini hanya terdengar pagi hari saja. Malam hari tak tak ada lagi campur sari selain burung Perkutut dan Tekukurnya yang bernyanyi.Â
Masih kuingat hujan deras sore itu. Sekitar 25 tahun tahun yang lalu. Aku masih duduk di bangku sekolah dasar kala itu.
Saat dua puluh orang warga datang menggeruduk kantor pengembang perumahan. Warga kesal karena pihak pengembang cluster perumahan tidak bertanggung jawab atas banjir yang melanda pemukiman tempat mereka tinggal. Warga menuntut persoalan jalur aliran kali. Sudah lebih dua kali di ingatkan sejak perumahan itu masih dalam pengerjaan agar jalur kali tidak di rubah.
Dan sore itu warga meminta kejelasan dari pihak pengembang mengapa jalur kali yang semestinya bisa di tarik lurus harus di belokkan. Karena hal itulah air yang seharusnya lancar mengalir jadi terhambat. Malahan arus air seringkali berbalik bila debit air di kali sedang tinggi akibat hujan yang lebat.
Beberapa orang mendesak masuk ke ruang kantor yang hanya berupa bangunan semi permanen. Petugas keamanan yang saat itu tengah bertugas tak dapat berbuat banyak lantaran di ancam keras oleh warga bila berniat menghalang-halangi. Mbah Pardi salah satu warga yang berani pertama kali memaksa masuk saat itu.
Mbah Pardi paling kencang suaranya soal penentangan tersebut. Ia yang pertama kali menolak jalur kali di rubah dari yang semestinya. Ia datang dengan garang membawa kekesalan. Jiwa patriotnya menggelegar demi sebuah keadilan. Dengan tangan terkepal dan di belakang puluhan orang mbah Pardi siap pasang badan.
"Tidak mungkin pak kami membangun perumahan dengan aliran kali membelah perumahan yang kami bangun. Aliran kali tetap akan di belokkan sesuai rencana. Kami menghindari limbah dan sampah dari hulu kali ini".
"Tapi ya di perhitungkan juga, kalau itu nanti akan menghambat jalannya air. Rawa yang kalian tutup ini saja sudah memperlihatkan dampak banjir di tempat tinggal kami". Begitu kira-kira pernyataan mbah Pardi kepada pihak kontraktor. Ia begitu yakin dengan pendiriannya.
Semakin sore semakin ramai warga berdatangan. Kali ini warga tidak main-main bahkan ada seorang warga yang memulai provokasi dengan melemparkan sebatang kayu besar ke jendela kaca kantor pengembang.