Tanpa jawaban ayah terus melangkah ke belakang rumah menuju kamar mandi. Sudah di pastikan hasilnya. Pembangunan komplek perumahan terus berjalan sesuai rencana awal dari pihak pengembang. Jalur kali tidak akan di kembalikan ke tempat yang semula. Tinggal kami menikmati imbasnya. Banjir tiap tahun tak bisa di hindari. Begitulah yang terjadi dan kami di paksa untuk menerima.
Kira-kira jam delapan malam sebelum warung mak Endut tutup mbah Pardi terlihat berjalan di gang bersama dua orang lelaki berseragam polisi. Tak lama berselang beberapa warga mendatangi rumah mbah Pardi. Pakde Suroso yang pertama kali masuk ke rumahnya.
********
Enam bulan sudah mbah Pardi hidup sendirian, tak ada siapa-siapa lagi di rumah. Biduk rumah tangga yang di jalani lebih dari tiga puluh tahun tidak membuahkan seorang anak pun. Usianya saat ini hampir delapan puluh tahun.
Bayangkan di hari tuamu kamu hidup dan tinggal sendirian. Sanak saudara entah ada di mana. Di kampung halaman pun kamu sudah tidak lagi di kenal sebab lama merantau tidak pernah pulang. Satu-satunya teman hidup yang telah puluhan tahun menemanimu harus pergi mendahului untuk selamanya.
Masih untung bila kamu tidak kena stroke atau penyakit jantung. Masih untung bila kamu menerima dana pensiun sebab kamu pegawai negeri. Atau punya rekening tabungan di bank yang tak habis-habis dipakai jajan. Kalau tidak? Kamu mungkin akan memilih bunuh diri atau pasrah di antar tetangga masuk ke panti jompo sebab hidupmu mulai merepotkan banyak orang.
Ada yang bilang sehari setelah banjir kemarin mbah Pardi terlihat membeli makan siang di warteg seberang. Tetapi tetangga depan rumahnya mengatakan melihat mbah Pardi sore hari keluar rumah dengan pakaian rapi dan ketika di tanya hendak kemana ia hanya mengangguk saja tak bicara apa-apa.
Yang jadi pertanyaan adalah lampu depan rumahnya sudah beberapa hari ini terus menyala. Lelaki tua itu ada di dalam rumah atau memang pergi jauh. Tapi mau kemana dia tak ada satu pun sanak keluarganya di Jakarta selain teman karibnya saat dinas militer yang tinggal di Pasar Minggu. Itu juga kalau memang masih hidup. Setahuku mbah Pardi pernah cerita bahwa temannya sempat lama di rawat di rumah sakit akibat serangan jantung.
Penasaran. Di hari ketiga ketika malam hari. Saat aku baru saja pulang kerja, sengaja sempatkan mampir ke rumah mbah Pardi. Biasanya lelaki itu sering menampakkan diri setiap malam di depan pintu pagar sambil menghisap rokok. Kenapa dua hari ini tidak nampak, apa ia sakit.
Kebetulan pagar rumahnya tidak terkunci jadi aku langsung saja masuk ke depan rumahnya. Tiba di depan pintu rumahnya aku mencium aroma tidak sedap. Entah bau apa ini dan dari mana asalnya. Baru kali ini hidungku mencium aroma yang begitu menyengat. Begitu pekat. Perasaanku sedikit tidak enak. Ketika hendak mengetuk pintu rumahnya pun aku ragu.Â
Dan anehnya tidak ada seorangpun di luar. Biasanya ada saja anak-anak yang nongkrong sambil main gitar atau sekedar ngobrol di gang. Jam 11 malam. Seharusnya mang Kosim sudah ada di pos. Ku tinggalkan rumah mbah Pardi dan berjalan ke arah pos hansip yang hanya berjarak dua puluh meter saja. Tidak ada orang.Â