Aku ingat sebuah tempat nan hijau dengan jalan setapak menuju senja.
Aku ingat sepasang kumbang menari-nari riang di kaki bukit serta pantulan bulan sabit mengambang di tepi sungai.
Aku mereka-reka berapa jauh jarak dan lamanya menuju ke sana.
Sementara ingatanku di penuhi kabut dan aku merasa gusar apakah hal tersebut hanyalah mimpi belaka.
Aku ingin mendirikan rumah, mendirikan kehidupan yang baru sambil mengasuh anak-anakku di halaman terbuka.
Pintu dan jendela rumahku akan menghadap ke timur sementara dari pintu dapur wajah matahari meredup dan tenggelam.
Istriku yang setia akan tekun merajut lembar demi lembar harapan dari sayur-sayuran yang di tanam di kebun belakang.
Lalu dari perut-perut ternak yang gemuk mengalirlah susu kehidupan yang tak pernah susut.
Aku membayangkan malam yang luas di penuhi bintang-bintang sambil menina bobokan mimpi masa silam.
Aku membayangkan kesunyian dengan irama serangga malam dan burung hantu abu-abu.
Aku akan duduk di beranda bersama istriku menunggu anak-anakku pulang.
Menanti waktu menua dan di makamkan bersama.
Ah begitu angkuhnya harapanku, ketakutan memenuhi kalbu.
Tempat nan hijau dan jalan setapak menuju senja, apakah masih ada?.
Gedung-gedung, jalan aspal dan lampu-lampu sorot sudah merambat liar tak dapat di bendung.
Ku dapati sungai tak lagi jernih sementara kumbang-kumbang entah kemana pergi, pantulan bulan terantuk limbah-limbah pabrik.
Namun matahari tetap condong menatapku bisu, entah di mana kan ku simpan mimpi indahku.
Barangkali tak pernah nyata dan aku terbangun dengan kesumpekkan yang masih sama.
Handy Pranowo
27-July-2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H