Kau bangunkan aku sewaktu pagi jatuh di bulan July.
Masih di atas kasur.Â
Sambil berbisik lirih di telinga kiri katamu "aku harus pergi..."
Mimpiku terusik. Jantungku sebentar berhenti.
Lamban ku buka mata.
"Aku masih mengantuk sayang, tadi malam..."
"Ssttt, lupakan" Jari telunjukmu menekan bibirku.
"Lihatlah bintang-bintang itu telah menjadi embun, mereka mengalir di kaca jendelamu"
Semalam mungkin yang terakhir.
Setelah tidak ada lagi yang di nanti.
Meski musim silih berganti.
Ku titipkan padamu seikat puisi dari ranting rindu yang pernah patah di musim hujan tahun lalu.
Dan aku tahu tak ada yang lebih baik dari ciumanmu.
Lengket dan amis.
Menempel di ujung kelamin.
Mengerat urat nadi tanganku.
Begitu tajam dan runcing.
Dari balik selimut kau lepas genggaman tanganmu.
Perlahan bayangan dirimu menjauh.
Matahari di luar jendela menjilati embun-embun.
Bayangan pohon kemuning luruh di atas kasur.
Rindu dan cinta telah kita bunuh tadi malam.
Mereka mati di sudut kamar. Berdarah dan telanjang.
Kau petik setitik air yang mengalir di pipiku yang hampir jatuh.
Katamu "Ini milikmu, ambillah"
Sempat ku ragu. Hanya ini yang tersisa dariku.
"Jangan pernah menangis sayang, cinta adalah petualangan"
Kalender di dinding sudah berubah.
Jam kayu menunjukkan pukul tujuh.
Begitu tepat, begitu patuh.
Bunga-bunga kemuning menjatuhkan diri di halaman rumah.
Kau bergegas keluar meninggalkan semua.Â
Langkah kakimu tanpa suara.Â
Di bulan July kita berpisah.
Handy Pranowo
02 JulyÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H