Aku melihat bulan lesu di atas perahu nelayan raut wajahnya seperti kehilangan sesuatu.
Entah apa, mengapa demikian.
Desir gelombang berebut meraba tepian pantai. Lampu mercusuar menerangi malam.
Begitu khusyuk angin berhembus. Begitu paham apa yang telah di takdirkan.
Perahu nelayan koyak tubuhnya mengapung di tengah lautan mengarungi harapan dan doa-doa yang tertinggal.
Sementara di dasar lautan bintang-bintang terkubur di balik batu karang.
Ikan-ikan berdzikir saat terperangkap jaring. Air matanya asin. Hidupnya sebentar akan berakhir.
Seperti nelayan. Seperti nelayan.
Aku terus melangkah di atas pasir berbuih, bulan tak beranjak tetap lesu menunduk.
Ombak-ombak bercerita soal kepedihan. Sebagian perahu-perahu nelayan tertambat tanpa harapan.
Cerita apa yang mesti aku sampaikan kepada kalian yang tengah tertidur pulas di atas kasur-kasur berbantal busa.
Apakah mesti aku dendangkan lagu anak-anak nelayan yang miskin tanpa pendidikan.
Oh lautan biru yang luas membentang.
Pelabuhan-pelabuhan besar dan dermaga impian.
Kiranya aku hidup di negara maritim dengan kekayaan laut yang melimpah terjamin.
Namun nyatanya aku salah berpikir. Seperti nelayan aku pula tersingkir.
Handy Pranowo
17 Juni 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H