Anaknya laki-laki masih berumur dua tahun sedang lucu-lucunya dan selalu memanggil ayah lewat sambungan telepon. Istri dan ibunda tercinta kerap kali menangis dalam sambungan video call dan berharap Mudik baik-baik saja di perantauan.
Sungguh perasaan di dalam hatinya merintih menjerit namun tak banyak yang dapat ia lakukan selain kesabaran yang gigih demi sebuah peruntungan yang baik di kota besar yang kini semakin lama semakin sulit.Â
Pekerjaannya hanya serabutan namun yang pasti ia adalah kuli panggul di pasar tradisional dan sudah di geluti lima tahun belakangan ini.
Pendapatannya kadang naik namun lebih sering turun. Keluarganya di kampung selalu meminta Mudik untuk pulang dan tinggalkan kota besar.Â
Ibunda tercinta menyuruhnya melanjutkan pekerjaan suaminya dulu di kampung sebagai penambang pasir dan batu kerikil. Namun Mudik tetap tak bergeming dan tak mau pulang apalagi harus bekerja sebagai penambang pasir.
Baginya tanah di kampung sudah tidak menghasilkan apa-apa selain kericuhan dan sengketa.
*****
Tahun ini meski ada sedikit kelonggaran bagi Mudik Lebaran untuk pulang kampung namun ironisnya kebutuhan hidup serba naik, harga-harga melambung tinggi tak terkendali bahkan ia harus keluar dari kontrakkan dan tinggal di sebuah masjid sebab tak sanggup lagi membayar uang bulanan.Â
Ia harus mengirit uang hasil pekerjaannya untuk bisa di bawa pulang kampung bila nanti hari raya tiba. Ia berjanji memberikan hadiah baju dan kerudung untuk istri dan ibunda tercinta.
Apa yang mesti Mudik Lebaran banggakan di kampung, apa yang mesti ia pamerkan di sana haruskah kepedihan dan keperihan. Bisa hidup di kota besar tanpa menyusahkan orang tua dan pulang kampung dengan selamat sudah cukup bagi Mudik.
Mudik Lebaran bukan lelaki cengeng dan juga bukan pula lelaki pemalas apalagi orang yang suka mengumbar hasil kehidupan dari sebuah pekerjaan di kota besar.