Sebelum malam datang kami sudah sampai di perbatasan dengan amunisi penuh dan persenjataan lengkap di badan.
Dalam jarak tertentu kami menunggu dengan sigap dan tenang apabila musuh datang kami siap menyerang.Â
Sekilas memang terlihat tegar namun jantung dan hati gemetar.
Kami siap mati namun enggan melepaskan kerinduan pada kedamaian yang semakin hari semakin menghilang.
Di langit merah asap mengepul hitam dan di tanah bercak darah bercampur tangisan.
Kami ingat anak-anak dan istri kami di meja makan, kami membayangkan pelukan hangat dari bunda tersayang.
Apakah dengan perang segala hal bisa terselesaikan, siapakah yang menentukan kami selamat dan pulang?
Tuhan di manakah engkau bersembunyi apakah bersama kami di perbatasan, hidup dan mati.
Dari kejauhan parade pengungsi terus merayap melewati sisa-sisa reruntuhan bangunan.
Wajah mereka terbayang, siapakah yang pantas menyeka air mata kesedihan?
Di lorong-lorong jalan, di kamar rumah sakit, bertumpuk luka dan nyawa orang-orang tak berdosa.Â
Kuburan-kuburan terus di gali memendam bangkai dendam dan benci.
Sementara kami dengan nafas yang terus di buru berharap lonceng perdamaian akan berbunyi.
Handy Pranowo
01032022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H