Televisi di kamar ibu masih menyala, ku tengok ia tengah tertidur pulas. Mungkin letih atau bisa jadi acara televisinya yang tidak menarik lagi.
Pelan-pelan aku menyelinap ke kamarnya lalu masuk ke dalam televisi itu. Aku berusaha menjadi laki-laki yang lucu, menjadi aktor, mencoba menghibur.
Dari kekosongan hati dari kesunyian di dadanya yang melebihi ruang ini.
"Ibu ini aku, anakmu, bangunlah ibu lihat aku menari, dengar aku bernyanyi".
"Tengoklah ibu, anakmu memakai kostum Batman, kostum yang dulu pernah ibu belikan di emperan toko di pasar".
Aku jadi teringat hari itu, umurku genap lima tahun.
Ibu terpaksa membawa aku ke pasar karena aku menangis tak ingin di tinggal.Â
"Jangan ikut nak, tunggu di rumah saja sama bibi, sebentar ibu pulang ibu cuma membeli benang".
Tangisku semakin kencang dan barangkali dengan perasaan kesal ibu akhirnya mengajakku. Tangan dan senyumnya mengembang menggandeng aku berjalan.
Cuaca panas terik, jalan aspal nampak membara di selasar pasar orang ramai berdesakan. Kami berkeringat, aku genggam tangan ibu erat.
Sampailah ibu di toko yang di tuju, di katakanya apa yang hendak di cari dan aku tekun menunggu.
"Tuh kan nak hanya sebentar, seharusnya kamu temani bibi di rumah sambil lihat majalah kartun yang ayah belikan Minggu lalu lihat wajah mu merah kepanasan di depan nanti kita beli minuman".
Namun di tengah perjalanan pulang nampak pedagang baju anak ramai berkoar-koar.
"Ibu lihat baju itu lucu, aku mau baju itu bu, rasanya sama dengan tokoh di majalah kartun".
"Nanti nak, tunggu ayahmu gajian, uang ibu hanya cukup ongkos pulang dan beli minuman".
Aku diam tak mau pulang, mematung di depan pedagang kaki lima yang terus-terusan berkoar. Lelaki kurus itu kikuk, senyum-senyum kecut.
"Mari bu, bisa di tawar kok asal pantas, harga cocok barang di kemas".
Ibu diam memalingkan muka, tangannya menyeret tubuhku untuk berjalan. Aku menangis, merengek-rengek lalu menjatuhkan diri berguling-guling di lantai pasar.
Sandal karetku terlepas melayang masuk ke dalam selokan. Ibu sedikit kesal.
"Besok saja ke sini lagi nak, jangan kamu menangis seperti ini, ayah marah nanti".
"Tapi aku mau baju itu bu, biar aku pamerkan nanti sore kepada ayah, akulah superhero itu".
Dengan tenang datangi pedagang tersebut sambil berbisik-bisik lembut, meredakan tangisku, orang-orang ramai memperhatikan kami berdua entah mengapa, apakah ada yang salah?
Aku hanya meminta baju Batman, aku yakin pantas buatku main, aku tahu ibu pasti membelikannya untukku. Ia sayang kepadaku melebihi apapun itu.
"Dengarlah ibu anakmu memanggilmu, lihatlah kostum ini semakin nampak lucu ku kenakan hari ini"
"Aku ingin menghiburmu, jangan pindah ke chanel lain isinya hanya gosip melulu".
"Ibu ingin lihatkan Batman bermain gitar, Batman berputar-putar".
"Ibu bangunlah, televisi ibu masih menyala".
Dalam kebingungan aku menangis, ia tak lagi bangun, tertidurpulas tanpa mendengkur. Ia tak butuh superhero, ia tak butuh apapun dari anaknya yang angkuh ini.
Ia hanya ingin tenang melanjutkan perjalanan ke sebuah tempat yang jauh yang tak mungkin ku rengkuh.
"Dengarlah nak, simpan kisahmu itu sebab telah ku simpan pula hidupmu yang dulu, tangisan dan deritamu, tak ada yang membebani hatiku tak sedikitpun aku meminta kepadamu dan Tuhan tahu soal itu."
Handy Pranowo
23122021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H