Sebagai perempuan aku telah gagal. Aku di bunuh ketidakberdayaan.
Di bunuh ketakutan-ketakutan yang mengejarku sepanjang siang sepanjang malam. Kecemasan-kecemasan yang menghantui tidurku, mimpi-mimpiku yang basah terlentang kedinginan.
Oh Ilahi hidup yang indah seketika berubah menjadi badai penderitaan yang tak pernah selesai. Mimpi dan harapan menjadi puing-puing di sapu angin kemana entah berterbangan.
Bunga-bunga layu di halaman pekarangan. Rasanya diriku tak percaya sedemikian nekatnya bertindak serampangan. Hanya karena cinta menelanjangi pikiranku hingga tak dapat lagi mendengar teriakan peringatan Tuhan.
Aku pernah berlari menghindari rasa takut. Tetapi dunia rasanya terlalu sempit. Bahkan telah ku tikam beribu-beribu sesal yang terus menjerit. Hingga akhirnya aku berpikir menuntaskan hidup yang rasanya semakin rumit.
Tuhan kamu di mana? Apakah kamu masih menyimpan kegelisahanku di malam pertama aku di nina bobokan.
Oleh dongeng-dongeng keindahan masa depan yang sempurna bagai keajaiban. Lalu ku biarkan keringatku jatuh bersama nafasku yang menderu sebab cinta begitu menggebu.
Tuhan kamu di mana? Apakah kamu masih mendengar gumam doa-doaku yang patah arang ketika harus ku relakan buah cintaku di sebuah malam.
Ku biarkan ia tandas mengalir dalam lubang penyesalan menuju sebuah gerimis air mata yang panjang. Dan ku pertanyakan padanya bahwa sampai kapan ini akan berakhir dan di manakah perahu cinta itu di tambatkan.